KOMPAS.com — Liar dan tak terurus. Seperti itulah kondisi terkini bekas bandara internasional Kemayoran, Jakarta, khususnya di lokasi menara kontrol lalu lintas udara, Jumat (27/9/2013) silam. Lapangan yang dulunya menjadi area pesawat berlabuh, kini tertutup ilalang, penuh pohon-pohon liar, dan semak belukar.
Kondisi dua menara kontrol itu juga sudah sangat tidak prima. Meski sudah dicat kembali, bagian dalam bangunan ini tampak tua, kotor, dan berbahaya.
Ironisnya, pemandangan "sumuk" itu terlihat sangat kontras dengan gedung Jakarta International Expo (JIExpo) di seberangnya. Apalagi, saat itu JIExpo tengah dijadikan lokasi pameran mobil nasional terbesar di Jakarta. Umbul-umbul tampak bertebaran di sepanjang jalan, sementara mobil-mobil mewah pengunjung terlihat lalu-lalang, keluar dan masuk gedung pameran. Di seberangnya, lapangan yang dulu menjadi lokasi bandara internasional kebanggaan Jakarta itu tak lebih dari "tempat jin buang anak" yang sepi!
Di tengah teriknya matahari yang sesekali tertutup awan, hampir tak ada penduduk masuk ke dalamnya. Hanya satu-dua penduduk lokal berada di lokasi. Itu pun segera diminta meninggalkan lokasi oleh petugas yang menjaga lahan bekas bandara itu.
Sebetulnya, jika diniatkan, lokasi ini hampir sempurna dijadikan tempat piknik masyarakat lokal. Sayangnya, cerita-cerita dari penjaga lokasi tersebut terdengar tidak menyenangkan, meski disampaikan dengan ramah. Ya, lokasi tak terawat ini banyak dihuni ular!
Lahan negara
Di tengah ingar-bingar pembangunan infrastruktur dan hunian bagi penduduk DKI Jakarta, kota ini ternyata masih memiliki lahan-lahan "tidur" yang penuh potensi. Salah satunya lahan bekas Bandara Kemayoran seluas lebih dari 400 hektar di Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, ini.
Ditemui Kompas.com di lokasi itu, Direktur Utama Pusat Pengelolaan Kompleks Kemayoran (PPKK) Tabrie mengatakan, institusi yang dikepalainya ini punya wewenang besar atas area tersebut. Menurut Tabrie, PPKK ingin menjadikan kedua menara ini sebagai museum Bandara Kemayoran, sementara lingkungan di sekitarnya akan dijadikan cagar alam.
Tabrie menuturkan, Bandara Internasional Kemayoran dibangun oleh Belanda pada 1938. Kemudian, saat Indonesia merdeka, bandara ini dijadikan bandara internasional pertama di negara ini.
Saat itu, tepatnya selama tahun 1945 hingga 1964, pengelolaan bandara di bawah tanggung jawab Jawatan Penerbangan Sipil. Selanjutnya, sejak 1964 hingga 1985, Bandara Internasional Kemayoran diserahkan dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, tepatnya Perum Angkasa Pura.
Aset tetap bandara tersebut berbentuk tanah seluas 4.189.115 m2 atau setara 418,9 hektar. Namun, predikat sebagai bandara internasional tak lagi dimiliki oleh Kemayoran sejak kehadiran bandara baru di kawasan Cengkareng dibangun pada 1985.
"Kemudian, karena pada 1985 international airport pindah ke Cengkareng, atau sekarang disebut Soekarno-Hatta International Airport itu, maka bekas Kemayoran International ini diserahkan kepada negara, dalam hal ini kepada Menteri Sekretaris Negara, sampai sekarang. Itu mulainya tahun 1985," tutur Tabrie.
"Karena Kementerian Sekretaris Negara tidak ada bagian dari tupoksinya untuk mengelola macam aset-aset begini, maka Sekretaris Negara membentuk yang dinamakan Badan Pusat Pengelolaan yang berubah menjadi Pusat Pengelolaan Kompleks Kemayoran. Itu berdasarkan Kepres Nomor 53 Tahun 1985 tertanggal 17 Juni 1985," tambahnya.
Kini, meski tak lagi digunakan sebagai bandara, Bandara Kemayoran bisa dan harus dikelola agar menghasilkan keuntungan. Pasalnya, PPKK merupakan Badan Layanan Umum (BLU). Artinya, lewat lahan bandara ini PPKK berkewajiban menyumbang pendapatan negara.
"Sejak 2011 itu berlaku BLU penuh. Artinya, lahan yang kita (miliki), lahan HPL ini, jadi milik pemerintah. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 390/KMK.05/2011 tertanggal 21 November 2011," kata Tabrie.