JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Jakarta Her Pramtama mengatakan, kemajuan dan perkembangan arsitektur di Indonesia terkendala regulasi pemerintah. Akibatnya, arsitek di lapangan kerap merasakan dampak negatifnya.
"Pemerintah sangat terlambat merespon pertumbuhan arsitektur. Misalnya saja isu penghijauan, seperti taman di atap. Sementara dalam perijinan, masih sumir yang mengatur atap rumah. Akhirnya, arsitek kena denda atau ada oknum yang berperan dan berujung pada pemerasan," kata Pramtama kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Contoh lainnya, lanjutnya, ada peraturan dimana setiap kavling bangunan tidak boleh saling menempel. Di kanan kiri rumah harus memiliki jarak. "Namun, kita lihat sekarang di perumahan-perumahan, hampir semua produk rumah menempel. Sementara peraturannya belum memadai. Ini akan membingungkan masyarakat," ujar Pramtama.
Ia berpendapat, pemerintah harus tanggap menyikapi perkembangan arsitektur. "Saya kerap bertanya-tanya, mengapa regulasi untuk arsitektur tidak secepat bidang lain seperti perekonomian, hukum, politik dan banyak lagi. Padahal regulasi itu penting, karena arsitek sebagai pelaku jasa dan masyarakat sebagai penggunanya," katanya.
Arsitektur mendorong perekonomian
Hal lain yang menjadi keprihatinan Pramtama adalah kurang jelinya pemerintah melihat posisi arsitektur yang dapat mendorong perekonomian bangsa. Padahal, kata dia, di belahan dunia lain telah menjadikan arsitektur sebagai aspek penting penunjang perekonomian.
"Mari lihat saja Malaysia, dia membangun Menara Petronas, lalu Genting Highland untuk menarik wisatawan masuk. Orang datang ke Opera House di Sydney, ke Menara Eiffel di Paris, atau Taj Mahal di India hanya untuk melihat bangunan arsitekturnya. Namun, ini mampu menjadi alat menggerakkan perekonomian," jelasnya.
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki potensi lewat karya arsitektur bangunan. Pada jaman pemerintahan Presiden Sukarno, telah dibangun gedung-gedung seperti gedung DPR/MPR, Stadion Senayan, Gedung Sarinah, Wisma Nusantara dan banyak lagi. "Mestinya pemerintah sekarang dapat mengelola warisan sejarah ini untuk menggerakkan ekonomi kota," kata Pramtama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.