JAKARTA, KompasProperti - Tak hanya terkait masalah keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga kerap menerima aduan masyarakat terkait persoalan properti.
Dari catatan OJK, setidaknya ada 664 aduan yang diterima dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
Deputi Direktur Direktorat Pelayanan Konsumen Rela Ginting mengatakan, pihaknya memasukkan aduan yang diterima ke dalam sembilan klasifikasi, yaitu pengembang atau developer, konsumen, bank, asuransi, notaris, jasa penilai, Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah (pemda) dan lain-lain.
Untuk developer, beberapa persoalan yang sering diadukan yakni pengembang nakal lantaran melakukan praktek wanprestasi, baik dalam hal penyerahan sertifikat maupun kualitas bangunan.
Selain itu, materi Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang sering kali lebih menguntungkan pengembang.
"Kemudian, developer itu kadang-kadang suka janjikan kredit pasti cair. Itu terkadang terjadi di lapangan padahal mereka nggak punya kewenangan mencairkan kredit," kata Rela saat kegiatan Property and Mortgage Summit 2017 di Jakarta, Rabu (17/5/2017).
Sementara itu, dari sisi konsumen, persoalan yang kerap terjadi seperti kredit macet, tingkat pemahaman konsumen terhadap produk dan layanan KPR berbasis syariah masih rendah, hingga kurang telitinya pengetahuan tentang profil pengembang.
Ada pun persoalan yang dihadapi dari sisi perbankan seperti perjanjian kredit yang lebih berpihak kepada bank, belum sepenuhnya menerapkan prinsip transparansi produk KPR termasuk dalam hal ini KPR berbasis syariah, hingga, belum selesainya dokumen kepemilikan rumah.
"Dari aspek notaris, kami terima laporan dipaksa dari pihak bank padahal ada kode etik notaris terkait pengurusan perjanjian atau dokumen KPR," kata dia.
Sementara dari sisi asuransi, aduan yang diterima biasanya terkait klaim yang tidak dibayarkan, atau dibayarkan namun proses kalim yang terlalu lama, hingga tidak transparannya refund premi.
Sedangkan, dari sisi jasa penilai, ia mengatakan, masalah yang diterima yakni tidak dilakukannya proses penilaian sesuai dengan standar profesi, informasi objek yang belum jelas namun penilaian haru dilakukan, serta tidak tersedianya data pembanding.
Lebih jauh, terkait BPN, persoalan yang dilaporkan pada umumnya terkait kendala birokrasi hingga tingginya harga kepengursan sertifikat, hingga proses pengurusan sertifikat secara konvensional atau offline.
"Kalau dari sisi pemda, belum adanya peraturan daerah untuk pelaksanaan UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman," kata dia.
Terakhir, terkait persoalan lain yang juga kerap diterima yakni terkait tumpang tindihnya peraturan yang dapat menimbulkan konflik atau sengketa perizinan, belum terbentuknya lembaga penjamin khususnya terkait KPR sesuai amanah UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, hingga, lemahnya penegakkan atas pengendalian dan pengawasan pengembang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.