Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta dalam Peta Pencakar Langit Dunia

Kompas.com - 17/06/2016, 05:30 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia mendapat tempat tersendiri dalam peta pencakar langit dunia. 

Negara dengan Jakarta sebagai fokus utamanya ini mampu menyelesaikan pembangunan 7 gedung tinggi di atas 200 meter (tall buildings) sepanjang 2015 lalu. Total tinggi gedung-gedung yang dibangun di Jakarta mencapai 1.588 meter. 

Sementara itu, Nanjing, Nanning, dan Shenzhen (China) di posisi kedua dengan masing-masing menyelesaikan 5 pencakar langit.

Pencakar langit adalah tren global dalam urbanisme vertikal dan teknologi yang mendorong manusia memaksimalkan potensi koneksinya dengan iklim dan lingkungan sekitarnya. 

Menurut Executive Director Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH) Antony wood, Bangunan tinggi merupakan bagian yang sangat penting untuk masa depan dalam menciptakan pola kehidupan yang berkelanjutan.

Sebagian besar di antaranya melalui konsentrasi penduduk, pemanfaatan ruang, penggunaan lahan, infrastruktur, dan sumber daya.

"Namun, dalam banyak cara, pencakar langit hanyalah langkah kecil dalam sebuah perjalanan yang perlu dijalani untuk benar-benar berkelanjutan dan berkontribusi positif terhadap kota," ujar Antony usai forum diskusi "Tall Buildings: Where Does Jakarta Stand in The Global Picture", Kamis (16/6/2016). 

Sebaliknya, menurut Direktur Central Cipta Murdaya (CCM) Holding Karuna Murdaya yang saat ini sedang membangun WTC 3, Jakarta tidak butuh gedung-gedung tinggi.

skyscrapercity.com Render WTC 3 Sudirman, Jakarta.
Apalagi harus menyaingi Kuala Lumpur yang sudah memiliki supertall yakni gedung dengan ketinggian di atas 300 meter, atau kota-kota dunia lain seperti Dubai dengan Burj Khalifa sejangkung 828 meter.

"Yang diperlukan Jakarta itu adalah keberlanjutan (sustainability), kelayakhunian (livability), dan lingkungan hidup yang lestari. Gedung lebih tinggi belum tentu lebih bagus," ujar Karuna.

Menurut Karuna, supertall justru menelan biaya tinggi dan tidak layak secara ekonomi. Terlebih untuk saat ini ketika situasi ekonomi sedang tidak kondusif.

Membangun supertall atau gedung di atas 55 lantai membutuhkan dana empat sampai lima kali lebih besar dibanding gedung berlantai 48.

Mahalnya ada di komponen mekanik dan elektrik, elevatornya juga harus banyak. Sebagian besar komponennya masih harus diimpor. Belum lagi biaya perawatannya.

"Jadi (gedung) pendek dan besar itu lebih baik. Orang masih bisa naik turun tangga. Lebih efisien secara energi, dan juga biaya," sebut Karuna.

SRSSA Signature Tower Jakarta
Dia menilai supertall hanya masalah gengsi. Banyak kota-kota dunia membangun gedung jangkung ini, tetapi mereka tidak memperhatikan daya dukung di sekitarnya, terutama masalah ekonomi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com