Salah seorang di antara mereka adalah So Jeong-hyun (37), seorang eksekutif muda yang ditemui di Seoul, awal September. ”Memiliki apartemen ibarat pungguk merindukan bulan. Harganya terus naik dan semakin fantastis dari tahun ke tahun," ujar dia.
"Lebih baik saya memikirkan biaya pendidikan anak dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga kami saja daripada membeli apartemen,” lanjut pria dengan anak laki-laki berusia tiga tahun tersebut.
Skema sewa dan deposit
Untuk tempat tinggal, Jeong-hyun yang bekerja di sebuah perusahaan global Korsel memilih menyewa apartemen. Skema yang dipilih adalah dia menyimpan deposito 500.000 dollar AS, sekitar Rp 6 miliar, untuk tinggal dua tahun, tanpa memikirkan uang sewa setiap bulan.
Sang pemilik apartemen akan memutar dana tersebut untuk mendapatkan imbal hasil, lalu mengembalikan pokoknya kepada Jeong-hyun saat masa sewa berakhir. Dengan skema ini, biaya sewa apartemen Jeong-hyun dinilai sekitar 5.000 dollar AS (Rp 60 juta) per bulan.
Skema ini lebih baik daripada mendepositokan uang di bank karena bunga yang rendah dan harga sewa apartemen (dibayar tunai) menjadi 7.000 dollar AS (Rp 84 juta) per bulan.
Raphael Choi (35), seorang manajer di perusahaan Korsel ternama, juga mengalami hal serupa. Raphael telah menikah selama tujuh tahun dan, meski istrinya bekerja, membeli tempat tinggal bukanlah prioritas.
”Prioritas kami sekarang adalah punya anak dan menyiapkan dana pendidikan baginya. Harga rumah atau apartemen terlalu mahal. Jadi, kami lebih baik menyewa dulu,” kata Raphael.
CATATAN:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari tulisan utuh di Harian Kompas edisi Rabu (1/10/2014) berjudul "Sisi Nestapa Sebuah Negara Sejahtera" karya Budi Suwarna dan Hamzirwan.