Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KONSULTASI INVESTASISteven Eric Lazuardi
Sekilas tentang Steven The Steven Eric Lazuardi adalah konsultan Hokiplus. Lahir di Jambi, 2 Januari 1975, Steven mendalami ilmu china kuno dari nenek dan orangtuanya.Ia beberapa kali tampil di televisi swasta.

Properti... Investasi yang Jeli Menyambut Tahun Kuda Emas!

Kompas.com - 20/08/2013, 11:31 WIB
Oleh Steven Eric Lazuardi

KOMPAS.com - Properti merupakan bisnis yang terus diincar para investor. Lahan properti menjadi idola ketika pemerintahan orde baru jatuh. Saat itu, periode 1998-1999, adalah momentum membeli tanah dan rumah dengan harga sangat murah bagi investor.

Saat itu, situasi tidak kondusif membuat banyak orang menjadi pesimistis. Tidak sedikit yang melarikan diri bersama keluarganya ke luar negeri dengan alasan Indonesia adalah negara yang tidak aman karena brutal dan anarkis pada tragedi kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan itu memicu pembakaran dan penjarahan sarana usaha, ruko, dan tempat perbelanjaan yang kemudian membuat sejumlah pengusaha menjadi dilema dan pesimistis.

Ya, rasa kecewa yang tinggi saat itu menimbulkan suatu keputusan untuk menjual properti dengan harga sangat murah demi upaya menyelamatkan diri dan keluarga. Perekonomian dalam negeri telah terancam lumpuh total dengan kondisi sangat mengecewakan.

Lalu, apa yang terjadi sekarang ini, terutama dengan harga properti yang melambung tinggi? Bahkan, banyak investor mulai berasumsi bahwa harga properti telah mengarah pada kondisi bubble.

Investasi yang jeli

Melirik lagi beberapa tahun ke belakang, suatu hal aneh memang pernah terjadi. Banyak pengusaha yang pada saat tragedi Mei 1998 lalu itu malah membeli mobil, rumah, dan tanah dengan harga murah sekali. Harga sangat murah ditawarkan oleh sejumlah orang yang mau melarikan diri ke luar Indonesia. Uang kontan sangat diperlukan di saat mendesak untuk ongkos mereka ke luar negeri.

Di sisi lain, sejumlah pengusaha yang memborong harga rumah dan ruko atau rukan murah tersebut mengatakan bahwa uang menjadi tidak berarti karena kurs Dolar AS sempat menyentuh Rp 15.000. Di beberapa money changer terlihat antrean panjang transaksi penjualan dolar. Herannya, banyak orang berpakaian sederhana dengan kostum dan celana pendek yang malah banyak menjual dolar sehingga candaan dan ledekan pun akhirnya dilontarkan.

"Sungguh tak dapat dipercaya bahwa yang antre menjual dolar adalah orang-orang yang tampangnya sederhana," ujar seorang pemuda yang menyimak kejadian tersebut.

Boleh jadi, ini memang fenomena yang sungguh di luar akal sehat dan nalar. Namun, itulah investasi yang jeli. Banyak pengusaha yang dirugikan, namun juga banyak yang diuntungkan atas tragedi tersebut.

Ini seperti bisa dilihat pada kenaikan harga properti yang signifikan pada 2010. Saat itu, harga tanah, rumah, ruko dan area komersil menapak naik harga berkali-kali lipat. Sejumlah investor pun jeli untuk lebih memanfaatkan uang yang dipegang atau didepositokannya. 

Situasi pun berubah. Lahan properti menjadi incaran utama dan prioritas investor. Pada 2013 ini, tanah di kawasan Tanah Abang menjadi Rp 30 juta per meter persegi. Di kawasan Menteng bahkan menjadi Rp 150 juta per meter persegi. Inilah yang membuat khawatir sejumlah kalangan investor. Lalu, masih adakah investor yang berminat membeli lahan yang mahal sekali itu?

Harga properti boleh naik tinggi, dan pada saat sekarang ini malah banyak yang tidak lagi memakai patokan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) sebagai patokan untuk nilai jual propertinya.

Rasanya, bila lahan suatu properti menanjak tinggi, hal perlu disimak adalah suku bunga kredit KPR yang seharusnya jangan membebani rakyat Indonesia. Hal ini mengingat inflasi cukup tinggi dan harga sewa atau kontrak suatu lahan properti menjadi faktor pertimbangan penting. Bila dua hal tersebut sudah tidak lagi berjalan, maka dikhawatirkan investasi properti bisa mengalami masalah besar.

Sejumlah pengusaha yang menyewa rumah maupun gedung tempat usaha mengeluhkan harga yang terlalu tinggi sehingga berdampak terhadap pendapatan. Bila seorang pegawai dengan gaji penghasilan Rp 3 juta per bulan, maka berapa lamakah seseorang harus mengumpulkan uang untuk mendapatkan sebuah hunian layak? Jangankan berbicara harga hunian bermiliar-miliar, harga ratusan jutaan saja masih mimpi, mengingat kebutuhan hidup sangat besar, terutama hidup di Jakarta.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau