Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Food Estate" dan Kilas Balik Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar

Kompas.com - 24/06/2020, 07:00 WIB
Rosiana Haryanti,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

Paling tidak sudah 30.000 hektar tanah aluvial yang dibuka untuk sawah, namun baru 10.000 hektar yang sudah ditanami.

Pemberitaan Harian Kompas 11 Juli 1995 menyebutkan, guna memuluskan proyek itu, pemerintah juga berencana membangun infrastruktur serta sarana lainnya di Kalteng.

Proyek pembangunan infrastruktur dimulai tahun 1996 dan berhenti pada tahun 1998 karena krisis moneter.

Sebelum terhenti, menurut Harian Kompas 16 April 1999, kontraktor berhasil membangun saluran primer induk (SPI) sepanjang 222 kilometer, dan saluran primer utama sepanjang 620 kilometer.

Kemudian tanggul keliling seluas 82 hektar, lahan usaha seluas 61.000 hektar, pencetakan sawah seluas 144.440 hektar, dan lahan perkarangan seluas 14.375 hektar.

Selain itu, pada akhir tahun 1997, sebanyak 15.100 KK transmigran ditempatkan untuk menggarap lahan.

Namun demikian, pada kenyataannya megaproyek PLG tersebut tidak sukses, karena karena dilakukan terburu-buru.

Baca juga: Jembatan Menuju Lumbung Pangan Nasional Baru Tuntas Dibangun

Misalnya dalam hal mendatangkan transmigran. Saat permukiman transmigran mulai dilaksanakan, sawah belum siap tanam, hanya siap olah.

Kemudian, dari total lahan sawah yang sudah dibuka, tidak semua berhasil dipanen. Lahan Proyek PLG di Kabupaten Kapuas misalnya, menderita kekeringan.

Belum lagi, permukaan air yang tersisa pada irigasi, jauh di bawah permukaan sawah. Akibatnya, sebagian sawah mengering dan meninggalkan retakan.

Dari rencana luas sawah 2.500 hektar, hanya sekitar 200 hektar yang bisa dialiri air.

Padahal, pada waktu itu, Presiden Soeharto dijadwalkan melakukan panen perdana produksi sawah dari proyek tersebut pada Oktober 1997.

Hal ini terjadi karena dua saluran primer induk (SPI) yang dibuat lurus membelah Sungai Kahayan-Kapuas-Barito tidak berfungsi sama sekali sebagai pengumpul air.

SPI tersebut memotong kubah gambut sedalam 10 meter serta tidak mengikuti kontur ketiga sungai.

Akibatnya, SPI malah mengeringkan kubah gambut. Di beberapa lokasi, air saluran tidak mengalir hingga menurunkan tingkat keasaman.

Hal ini karena gambut merupakan lahan basah, seperti dikatakan oleh Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Tengah Dimas N Hartono.

Bahkan, ketika musim hujan, gambut akan menyerap air dan akan dikeluarkan pada musim kemarau.

"Jadi sifatnya basah dan tidak boleh kering,"' kata Dimas kepada Kompas.com, Rabu (24/6/2020).

Baca juga: Kebutuhan Irigasi Lumbung Pangan Baru Rp 1,9 Triliun

Pengembangan kanal di lahan PLG juga berakibat pada keringnya lahan. Sebab, kanal-kanal tersebut justru mengeringkan gambut.

Ketika gambut mengering, maka secara otomatis lahan tersebut rentan terbakar. Dimas menyebut, pemicu sekecil apa pun akan menyebabkan kebakaran.

Selain itu, wilayah-wilayah gambut juga merupakan lumbung pangan bagi ikan-ikan air tawar dan sayuran lokal yang sudah dikelola oleh masyarakat secara tradsional.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com