Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta, Lihatlah Cara Jepang Mengatasi Banjir

Kompas.com - 03/01/2020, 17:28 WIB
Rosiana Haryanti,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Banjir yang terjadi pada Rabu (1/1/2020) di Jakarta dan sekitarnya masih menjadi sorotan.

Bencana ini juga disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya penyimpanan air, permasalahan tata kota, hingga curah hujan yang cukup tinggi.

Meski begitu, wilayah-wilayah lain di dunia juga tak lepas dari banjir, salah satunya adalah Jepang. Negara ini memiliki sejarah panjang dengan bencana itu.

Melansir dari ThougtCo, sungai-sungai Jepang memiliki aliran yang deras dan sangat berisiko.

Untuk melindungi daerah aliran sungai (DAS) tersebut, pemerintah dan insinyur setempat telah mengembangkan sistem kanal dan kunci pintu air.

Setelah banjir besar pada tahun 1910, Jepang mulai mencari cara untuk melindungi dataran rendah di wilayah Kita yang menjadi bagian dari Tokyo.

Pemerintah kemudian membangun Iwabuchi Floodgate atau yang dikenal dengan nama Akasuimon dibangun pada tahun 1924 oleh Akira Aoyama, seorang arsitek Jepang yang juga mengerjakan Terusan Panama.

Baca juga: Jakarta Harus Belajar Mengelola Sungai dari Jepang

Pemberitaan Kompas.com 24 Juli 2018 menyebutkan, setelah Perang Dunia II, Pemerintah Jepang mengambil alih pengelolaan sungai. Dinding sungai mulai dilapisi dengan beton.

Tetapi, alih-alih mengatasi masalah banjir, cara ini justru merusak sungai.

Setelah tahun 1990-an, pemerintah kemudian mengajak publik untuk mengelola sungai. Setelah itu, restorasi sungai yang rusak pun dimulai.

Selama 15 tahun, pemerintah dan publik menyelesaikan setidaknya 23.000 proyek restorasi.

Tokyo Sumida River From Suijin BridgeLERK Tokyo Sumida River From Suijin Bridge
Bukan itu saja, Pemerintah Jepang juga memanfaatkan ruang publik yang ada, seperti lapangan, taman, dan sekolah sebagai fasilitas penampung air hujan.

Bahkan mereka juga menerapkan sistem multipurpose retarding basin di Stadion Yokohama untuk menampung banjir di Sungai Tsurumi.

Jadi ketika volume air meningkat, air akan ditampung di area sekitar stadion yang berfungsi sebagai daerah retensi.

Kemudian, ketika sungai sudah kembali normal, air yang ditampung akan kembali dialirkan ke sungai.

Selain itu, Jepang juga memiliki infrastruktur lain guna meminimalisasi banjir, khususnya di sekitar Tokyo.

Kota ini merupakan tempat tinggal bagi 38 juta orang. Sebagai kota metropolitan, wilayah ini rentan terkena gelombang saat badai.

Permasalahan juga tak selesai di situ, banyaknya penduduk dan pengambilan air tanah secara besar-besaran telah membuat permukaan tanah di beberapa bagian kota turun hampir 4,5 meter selama satu abad terakhir.

Baca juga: Hikayat Betonisasi, dan Paradigma Mengeringkan Jakarta

Naiknya permukaan air laut juga memperparah keadaan. Hal ini mengakibatkan beberapa wilayah di ibu kota Jepang itu berada di bawah permukaan air laut.

Terlebih, curah hujan yang tinggi serta potensi kerusakan besar akibat gempa bumi dan tsunami semakin memperburuk keadaan.

Sebuah studi tahun 2014 tentang risiko bencana alam oleh perusahaan reasuransi Swiss Re mengungkapkan, Tokyo dan kota pelabuhan tetangga, Yokohama, merupakan wilayah metropolitan paling berisiko di dunia.

Untuk itulah, pemerintah setempat kemudian berusaha menanggulangi bencana dengan membangun The Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel atau Saluran Pembuangan Bawah Tanah Kawasan Metropolitan di Saitama.

Ruangan bawah tanah itu berada di bagian utara Tokyo dibangun untuk menampung aliran air dan melindungi kota dari banjir. 

Ukurannya tak main-main, mengutip situs resmi Edogawa River Office, saluran pembuangan bawah tanah ini menampung air yang meluap dari sungai-sungai berukuran kecil hingga menengah seperti Naka, Kuramatsu, dan Oootoshifurutone.

Bahkan, melansir laman New York Times, ruangan itu disebut mampu menampung patung Liberty.

Saluran tersebut terdiri dari beberapa tangki besar yang dihubungkan oleh terowongan yang mengalirkan air ke Sungai Edogawa dan menyiramkannya ke Teluk Tokyo.

Terowongan itu dirancang dengan panjang 6,3 kilometer dan membentang sepanjang 50 meter di bawah tanah.

Di sela-sela terowongan, terdapat pilar penopang setinggi 18,18 meter. Pilar-pilar tersebut membuat ruangan terlihat seperti kuil besar.

Bahkan, pengelola fasilitas menyediakan tur kepada warga yang ingin masuk dan menyaksikan bagian dalam terowongan.

"Kami bersiap menghadapi banjir melebihi apa pun yang kami lihat. Sampai sekarang setidaknya kami telah berhasil," kata Kuniharu Abe, yang mengepalai situs tersebut.

Penyelesaian konstruksi fasilitas ini secara drastis telah mengurangi jumlah rumah yang terendam banjir di daerah sekitarnya.

Keberadaan fasilitas itu membuat wilayah Saitama timur berkembang. Area ini merupakan kawasan yang paling merasakan manfaat dari fasilitas ini. 

Industri lokal pun berkembang dan berhasil menarik beberapa pusat distribusi e-commerce serta pusat perbelanjaan baru.

Tokyo Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel G-cansShutterstock Tokyo Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel G-cans
Lalu, apakah cara ini bisa diterapkan di Indonesia, khususnya ibu kota?

Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi, jika ingin meniru cara Jepang dalam mengelola banjir, permasalahan paling besar ada pada pemenuhan ruang.

Baca Juga: Jakarta Menantang Zaman

Hal ini membuat perbaikan kualitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) juga menjadi pekerjaan rumah.

"Model pendekatan teknologi harus melihat kondisi lingkungan, baik secara hulu, hilir, dan melibatkan warga penuh dalam perencanaan," tutur Tubagus kepada Kompas.com, Jumat (3/1/2020).

Menurutnya, kondisi daya dukung dan daya tampung di Pulau Jawa sudah terdegradasi, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Penyebabnya karena pembangunan ruang yang dinilai rakus, sedangkan pemerintah saat ini tidak mampu mengontrol.

"Jadi mungkin tidaknya perlu diuji analisis," ucap dia.

Meski begitu, Manager Kampanye Perkotaan dan Energi WALHI Dwi Sawung mengatakan secara teknis cara tersebut dapat diterapkan. Tetapi pasti akan terbentur pada masalah biaya.

"Secara teknis bisa, tapi pasti mahal banget biayanya," kata Dwi.

Selain itu, halangan untuk bisa merealisasikan cara yang diterapkan Jepang adalah para pengembang yang melakukan pembangunan di daerah penampungan air seperti di daerah Kelapa Gading.

"Malah seringnya (pembangunan) mengorbankan masyarakat lain sepeti di Pluit dan Angke," sebut dia.

Menurut Dwi, Jakarta sendiri tidak mungkin terbebas dari banjir sepenuhnya, apalagi mengingat faktor geografis dan ekologi kawasan ini.

Tetapi, potensi banjir masih dapat diminimalisasi dengan penataan ruang yang mempertimbangkan lingkungan serta teknis.

Selain itu, penataan ruang di Jakarta seharusnya juga berkesinambungan dan dibangun untuk jangka panjang.

Bukan hanya Jakarta saja, Dwi juga mengingatkan agar penataan ruang juga dilakukan di wilayah hulu.

"Dibangun apapun kalau hulunya diacak-acak tetap akan kebanjiran," pungkas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau