Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrea Peresthu
Pemerhati Perkotaan

Pemerhati Perkotaan, pernah menjadi Asisten Profesor di Fakultas Arsitektur, Universitas Teknologi Delft (TU Delft).

Mengawinkan Normalisasi dan Naturalisasi, Solusi Banjir Jakarta

Kompas.com - 03/01/2020, 13:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

STRUKTUR megapolitan Jakarta dibangun Belanda dengan tujuan eksploitasi atau hinterland-port. Bukan untuk pelayanan publik seperti kota di Jepang dan Eropa, yang memiliki civic backbone seperti transportasi publik, large sewage system, smart power grid serta banyak lagi aspek fisik dan non-fisik untuk memberikan pelayanan publik.

Civic backbone pelayanan publik ini logikanya harus terus beradaptasi dan berinovasi sesuai dengan transformasi kebutuhan masyarakat, kota dan alam. Sebut saja perubahan iklim, bencana alam, dan lain sebagainya.

Absennya civic backbone itulah yang membuat Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia rentan macet, banjir, serta tumpang tindihnya tata ruang kota.

Ketika banjir datang lagi, yang kita lakukan hanyalah sibuk berpolemik, pro dan kontra soal normalisasi dan naturalisasi.

Padahal, normalisasi adalah paradigma kaum developmentalist tahun 1970-an, yaitu membangun saluran besar (kanal) untuk mengalirkan air pada saat hujan, langsung menuju laut tanpa hambatan.

Normalisasi juga harus dimodifikasi dengan pembangunan embung-embung atau danau kecil sebagai penampungan air sementara, saat terjadi kondisi ekstrim (over flow).

Selain itu, juga harus didukung dengan proses pengerukan muara sungai untuk menghindari proses sedimentasi lumpur.

Danau-danau kecil ini sangat menarik, jika didesain dan dikelola secara strategis untuk menampung air.

Atau bisa juga digunakan untuk pemeliharaan fasilitas kota pada saat musim kering, seperti menyiram tanaman, contingency alternative supply, dan pasokan air pemadam kebakaran.

Penggunaan lainnya, tentu menjadi area publik untuk rekreasi ataupun berolahraga.

Pelurusan alur sungai (normalisasi) serta mengembalikan fungsi ekologis daerah aliran sungai (DAS) inilah yang dimaksud sebagai langkah naturalisasi.

Terkesan utopis dan romantis, gerakan naturalisasi banyak dilakukan di Eropa, khususnya Jerman, pada tahun 1980-1990-an. Tapi mereka terlebih dahulu sudah memiliki tanggul dan sistem pengolahan limbah dalam skala besar.

Pada saat itu, hanya kali-kali kecil dan got yang dijadikan eksperimen proses naturalisasi. Namun, hingga sekarang tidak terdengar lagi hasil eksperimennya, berhasil atau gagal.

Megapolitan Jakarta harus mengadaptasi keduanya. Tetapi yang harus dilakukan lebih dulu adalah normalisasi sebagai tulang punggung mengantisipasi banjir.

Sementara proses naturalisasi justru harus dilakukan di daerah hulu, Bogor dan Depok serta daerah penyanggah yang memiliki aliran anak sungai atau kali yangg masuk ke Jakarta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com