JAKARTA, KOMPAS.com - "Airnya rembes itu mas. Air dari laut itu yang masuk lewat tanggul," ucap Warni (54), warga Penjaringan, Jakarta Utara, saat ditemui Kompas.com, Rabu (2/10/2019).
Di sebuah bangunan semi permanen berukuran sekitar 2,5 x 1,5 meter, Warni membuka usaha warung makan sederhananya. Tepatnya, di seberang Stasiun Pompa Waduk Pluit Timur yang berada di Jalan Pantai Mutiara, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara.
Baca juga: Tanggul Laut Jadi Tol Bekasi-Banten Masih Draf Konseptual
Hampir setiap hari ia mendapati pemandangan tersebut. Baginya, kondisi seperti itu masih terbilang wajar dibandingkan dengan banjir rob yang kerap terjadi beberapa tahun silam.
Tahun 2007 mungkin menjadi salah satu periode yang tak dapat ia lupakan sejak pindah dari Tegal 34 tahun silam. Saat itu, seluruh dagangannya habis disapu banjir rob. Meski harus merasakan penderitaan, ia tetap 'bersyukur'.
Baca juga: Tanggul Laut Jakarta Bakal Jadi Tol Bekasi-Banten
"Untungnya siang kejadiannya. Saya lupa pastinya berapa lama, kalau enggak salah sampai seminggu deh banjirnya," kata Warni.
Perubahan iklim yang signifikan telah mengakibatkan tinggi permukaan air laut mengalami peningkatan. Tak terkecuali di wilayah utara Teluk Jakarta.
Kondisi ini diperparah dengan masifnya pembangunan gedung bertingkat serta pengambilan air tanah yang tidak terkontrol. Akibatnya, permukaan tanah pun terus mengalami penurunan (land subsidence).
Baca juga: Reklamasi Tak Bisa Dilepaskan dari Tanggul Laut Raksasa
Riset yang dilakukan tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung yang dilansir BBC mengungkapkan, tak kurang dari 2,5 meter permukaan tanah di wilayah Jakarta Utara mengalami penurunan dalam kurun 10 tahun terakhir. Artinya, setiap tahun wilayah ini mengalami penurunan hampir 25 sentimeter.
Oleh karena itu, tak berlebihan bila Simang (54), warga Muara Baru yang tinggal tak jauh dari lokasi Tanggul Muara Baru menyebut pada saat banjir rob terjadi, ketinggian hampir mencapai lantai dua rumah warga pada saat itu.
"Dulu kalau enggak salah 2007-2008 itu tanggul sempat jebol. Ada empat titik, jalanan semua terendam," ucap pria yang pindah dari Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan ke wilayah tersebut 40 tahun silam.
Hal senada diamini Nur. Warga asli setempat itu bahkan terpaksa harus mengungsi ke tempat lain hingga dua pekan lamanya karena rumah tempat tinggalnya terendam banjir.
"Orang-orang bahkan harus sampai naik le atas kapal tongkang untuk menyelamatkan diri. Asalkan ada permukaan yang cukup buat bangun tenda, tidur," ujarnya.
Kondisi berbeda dirasakan warga Kali Baru, Jakarta Utara. Sapari (79) yang telah menetap di wilayah ini sejak 1967 mengaku, banjir rob memang kerap terjadi setiap tahunnya. Tapi, utamanya pada medio sebelum 2015.
Ketika banjir, ketinggian permukaan air dapat mencapai tiga meter. Namun, kondisi seperti itu tidak berlangsung lama.
"1-2 jam surut, karena itu air dari laut kan bukan karena ujan. Tapi ujan seharian pun juga enggak banjir karena cepet kebuang ke laut," ungkapnya.