Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Proyek Infrastruktur yang Berpotensi Tingkatkan Risiko Bencana

Kompas.com - 18/09/2019, 11:50 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan infrastruktur di kawasan selatan Pulau Jawa dinilai semakin meningkatkan potensi risiko bencana di wilayah tersebut.

Pada saat yang sama, bencana geologis dalam bentuk gempa dan erupsi gunung berapi menghantui. Belum lagi potensi risiko bencana hidrometeorologis seperti banjir, longsor, dan gelombang pasang.

Koordinator Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Edo Rakhman mengatakan, kerentanan wilayah selatan Pulau Jawa meningkat karena adanya pembangunan ekonomi yang diduga menghancurkan sabuk pantai selatan, kawasan buffer zone sistem hidrologis di pegunungan dan infrastruktur yang dibangun di zona bencana. 

Baca juga: Pembangunan Infrastruktur di Pulau Jawa Tingkatkan Risiko Bencana

"Kalau kemudian pemerintah mengklaim bahwa sudah berhasil menurunkan tingkat kerugian dari dampak benana, itu hitungannya dari mana?" ucap Edo di kantornya, Selasa (18/9/2019).

Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Tubagus menambahkan, salah satu peningkatan kerentanan bencana di wilayah Banten terjadi akibat adanya perubahan lansekap hutan yang dikelola Perhutani. Di samping maraknya industri dan pertambangan semen di provinsi itu.

Sebut saja tambang karst yang berpotensi merusak cathment area, pencemaran kawasan pesisir dan area tangkap nelayan.

Perbaikan Jembatan Cisomang, Tol Purbaleunyi, Purwakarta, Kamis (23/2/2017).Arimbi Ramadhiani Perbaikan Jembatan Cisomang, Tol Purbaleunyi, Purwakarta, Kamis (23/2/2017).
Kegiatan penambangan juga berpotensi menimbulkan polusi dan pencemaran yang dampaknya terutama akan dirasakan masyarakat nelayan, ibu dan anak. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Rere Christianto mengungkapkan, pembangunan Jalan Lintas Pantai Selatan juga berpotensi meningkatkan kerentanan bencana hidrometeorologi karena fragmentasi ekosistem dan sosial. 

"Jalan ini sebenarnya proyek lama yang sampai sekarang belum selesai. Problemnya, jalan ini membelah kawasan hutan lindung di Kabupaten Malang dan Jember. Sebenarnya ada hutan kawasan produksi yang lokasinya bersebelahan, tetapi tidak digunakan karena harus memutar," papar Rere.

Adapun Direktur Eksekutif Walhi Jawa Bara Meiki Paendong mengatakan, meski pemerintah memiliki standar konstruksi gedung tahan gempa 1.000 tahun.

Baca juga: Walhi: Jangan Percaya Klaim Pemerintah Umur Bangunan 1.000 Tahun!

Hal itu tidak serta merta dapat menjadi acuan apakah konstruksi yang dibangun akan terbukti tahan gempa atau tidak.

Ia pun memberikan contoh bergesernya struktur Jembatan Cisomang di ruas Tol Purbaleunyi beberapa waktu lalu.

Jembatan penghubung Holtekamp dan Hamadi diatas teluk Youtefa, Papua.PP Construction and Investment Jembatan penghubung Holtekamp dan Hamadi diatas teluk Youtefa, Papua.
Menurut Meiki, pergeseran itu terjadi bukan karena gempa melainkan pergeseran tanah di bawahnya. 

Jalan tol

Demikian halnya dengan pembangunan jalan tol yang dinilai meningkatkan risiko bencana.

Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta Halik Sandera menuturkan, pembangunan berbagai jalan tol dan bandara juga berpotensi meningkatkan kerawanan bencana. Sebut saja, proyek Tol Solo-Yogyakarta yang akan dieksekusi dalam waktu dekat. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com