Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Walhi: Jangan Percaya Klaim Pemerintah Umur Bangunan 1.000 Tahun!

Kompas.com - 17/09/2019, 23:09 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak beberapa waktu terakhir, pemerintah terus memperbaiki kualitas infrastruktur yang dibangun.

Tujuannya, agar proyek yang nilainya dapat mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah itu dapat bertahan lama.

Salah satu teknologi yang diterapkan yakni memastikan setiap konstruksi dapat tahan gempa hingga 1.000 tahun sejak beroperasi berdasarkan kode standar keamanan bangunan.

Beberapa proyek itu, misalnya, Jembatan Holtekamp di Jayapura, proyek enam ruas Tol Dalam Kota Jakarta, hingga Jembatan Kali Kenteng di ruas Tol Semarang-Solo.

Baca juga: Waspada, Erupsi Gunung Merapi Ancam Tol Solo-Yogyakarta

Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengimbau masyarakat tak terjebak dengan sejumlah standar bangunan tahan gempa yang dibuat pemerintah.

Sebab, menurut Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta Halik Sandera, gempa tak bisa diprediksi, kekuatan dan kapan waktu terjadinya.

"Kita jangan terjebak pada bangunan tahan gempa karena gempa itu tidak bisa diprediksi. Karena megathrust yang diprediksi di atas (magnitudo) 9, apa yang disampaikan pemerintah misalnya Bandara Kulonprogo didesain hanya (magnitudo) 8,8, kalau misalnya kejadian 9 itu bagaimana?," tutur Halik menjawab Kompas.com, Selasa (17/9/2019).

Ia menambahkan, parah atau tidaknya dampak kerusakan akibat gempa juga bukan dipicu faktor kekuatan semata.

Baca juga: Pembangunan Infrastruktur di Pulau Jawa Tingkatkan Risiko Bencana

Ketika gempa bumi mengguncang wilayah Yogyakarta pada 2006 lalu, kekuatannya mencapai hanya magnitudo 5,6.

"Tapi kerusakan infrastrukturnya luar biasa karena durasinya cukup lama," ungkapnya.

Poster pemain sepak bola yang langsung dipasang di pohon, serta karung bekas yang kembali dikumpulkan untuk alas tidur. Di Dusun Bondalem, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Bambang Lipuro, Kabupaten Bantul, ini hampir semua rumah telah rata tanah akibat gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006.KOMPAS.com/AMIR SODIKIN Poster pemain sepak bola yang langsung dipasang di pohon, serta karung bekas yang kembali dikumpulkan untuk alas tidur. Di Dusun Bondalem, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Bambang Lipuro, Kabupaten Bantul, ini hampir semua rumah telah rata tanah akibat gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006.
Halik menambahkan, di tengah masifnya rencana pembangunan infrastruktur seperti di wilayah selatan Pulau Jawa, pemerintah dinilai kurang memperhatikan aspek potensi kerawanan.

Sejauh ini, wilayah selatan Jawa diketahui memiliki potensi terjadinya megathrust yang dapat menghancurkan infrastruktur yang ada.

Pembangunan wilayah tersebut, lanjut Halik, dikhawatirkan memicu pertumbuhan kawasan pemukiman baru, sehingga akan meningkatkan kerawanan bila bencana terjadi.

"Kalau di jalur lintas selatan itu kanan kirinya kemudian sekarang mulai muncul, artinya pembanhunan jalan tidak pernah dihitung dengan munculnya bangkitan-bangkitan pembangunan yang ada di sekitar. Dan itu akan meningkatkan kerentanan," cetus Halik.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki Paendong mengatakan, pemerintah dapat dengan mudah mengklaim kekuatan struktur sebuah proyek infrastruktur.

Namun, apakah klaim tersebut dapat benar-benar terbukti bisa dilihat pada saat bencana terjadi.

"Contoh kasus Jembatan Cisomang Jalan Tol Padaleunyi yang terkena tanah bergerak lapisan pondasinya sudah terdampak. Secara teknis tahan 1.000 tahun tapi tidak menutup kemungkinan akan terjadi efek yang tidak kita harapkan. Aspek kerentanan kan tetap terjadi," pungkas Meiki.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com