JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak beberapa waktu terakhir, pemerintah terus memperbaiki kualitas infrastruktur yang dibangun.
Tujuannya, agar proyek yang nilainya dapat mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah itu dapat bertahan lama.
Salah satu teknologi yang diterapkan yakni memastikan setiap konstruksi dapat tahan gempa hingga 1.000 tahun sejak beroperasi berdasarkan kode standar keamanan bangunan.
Beberapa proyek itu, misalnya, Jembatan Holtekamp di Jayapura, proyek enam ruas Tol Dalam Kota Jakarta, hingga Jembatan Kali Kenteng di ruas Tol Semarang-Solo.
Baca juga: Waspada, Erupsi Gunung Merapi Ancam Tol Solo-Yogyakarta
Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( Walhi) mengimbau masyarakat tak terjebak dengan sejumlah standar bangunan tahan gempa yang dibuat pemerintah.
Sebab, menurut Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta Halik Sandera, gempa tak bisa diprediksi, kekuatan dan kapan waktu terjadinya.
"Kita jangan terjebak pada bangunan tahan gempa karena gempa itu tidak bisa diprediksi. Karena megathrust yang diprediksi di atas (magnitudo) 9, apa yang disampaikan pemerintah misalnya Bandara Kulonprogo didesain hanya (magnitudo) 8,8, kalau misalnya kejadian 9 itu bagaimana?," tutur Halik menjawab Kompas.com, Selasa (17/9/2019).
Ia menambahkan, parah atau tidaknya dampak kerusakan akibat gempa juga bukan dipicu faktor kekuatan semata.
Baca juga: Pembangunan Infrastruktur di Pulau Jawa Tingkatkan Risiko Bencana
Ketika gempa bumi mengguncang wilayah Yogyakarta pada 2006 lalu, kekuatannya mencapai hanya magnitudo 5,6.
"Tapi kerusakan infrastrukturnya luar biasa karena durasinya cukup lama," ungkapnya.
Sejauh ini, wilayah selatan Jawa diketahui memiliki potensi terjadinya megathrust yang dapat menghancurkan infrastruktur yang ada.