Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Djoko Setijowarno
Akademisi

Peneliti Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata

Perlintasan Sebidang Tanggung Jawab Siapa?

Kompas.com - 09/09/2019, 19:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HARMONISASI dan sinergi kerja antara Ditjen Perkertetapian dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan Pemerintah Daerah (pemda) diperlukan untuk menekan angka kecelakaan yang terjadi di perlintasan sebidang antara jalan kereta dan jalan. 

Data Direktorat Keselamatan Ditjen Pekeretaapian (2018), rata-rata terjadi 276 kecelakaan per tahun dan 23 kecelakaan per bulan.

Perlintasan sebidang antara jalan kereta dan jalan, pada prinsipnya dibangun tidak sebidang. Namun jika dibangun sebidang, hanya bersifat sementara yang harus memperhatikan keselamatan operasional kereta, dan penguna jalan raya.

Perlintasan antara jalan rel dan jalan raya ada yang sebidang ada yang tidak sebidang. Perlintasan sebidang ada yang dijaga, tidak dijaga, dan liar. Tidak sebidang dapat berupa underpass (terowongan) atau flyover (jalan layang).

Data Direktorat Jenderal Perkeretaapian (2019), terdapat 4.854 perlintasan yang sebidang (92,67 persen) dan 384 perlintasan tidak sebidang (7,33 persen).

Perlintasan sebidang terdiri dari 1.238 perlintasan dijaga (23,63 persen), 2.046 perlintasan tidak dijaga (39,06 persen) dan 1.570 merupakan perlintasan liar (29,97 persen).

Masalah perlintasan sebidang ini selalu kontroversial. Di satu sisi, masyarakat membutuhkan akses jalan yang lebih singkat. Akan tetapi, di sisi lain, perlintasan itu juga menjadi sumber petaka.

Selain menjadi simpul terjadinya kecelakaan, perlintasan sebidang merupakan titik kemacetan. Tingginya frekuensi perjalanan kereta, sehingga mengakibatkan waktu tunggu untuk pengguna jalan raya semakin lama.

Segala upaya sudah dilakukan, seperti sosialisasi, koordinasi, penutupan, pengelolaan, penegakan hukum, program aksi, pemberian penghargaan, kampanye dan kerjasama dengan instansi terkait.

Aksi penutupan perlintasan juga tidak mudah, sejumlah hambatan terjadi di lapangan. Upaya penutupan itu kerap mendapat penolakan dari warga, pemda dan pengusaha. Faktor lain adalah kesadaran masyarakat karena masih banyaknya jalan umum tak resmi yang memotong langsung jalur kereta. Perlintasan liar itu kian terus bertambah setiap tahun.

Menurut Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), perlintasan yang dikelola oleh pemda tidak pernah dilakukan audit keselamatan.

Berdasarkan PM Nomor 94 Tahun 2018 tentang Peningkatan Keselamatan Perlintasan Sebidang antara Jalur Kereta dengan Jalan, evaluasi perlintasan sebidang dilaksanakan paling sedikit satu tahun sekali oleh Ditjen.

Perkeretaapian untuk perlintasan sebidang yang berada di jalan nasional; gubernur, untuk perlintasan sebidang yang berada di jalan provinsi; dan bupati/wali kota untuk perlintasan sebidang yang berada di jalan kabupaten/kota dan jalan desa.

Harus diakui peran pemda untuk aksi keselamatan berlalu lintas masih rendah. Minimnya alokasi anggaran untuk Dinas Perhubungan rata-rata kurang dari 1 persen dari APBD.

Tidak banyak pemda yang berikan alokasi anggaran buat Dishub di atas 3 persen. Hal ini tidak terlepas dari UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda, Perhubungan termasuk wajib non pelayanan dasar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com