Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Tak Bisa Kendalikan Harga Lahan di Kawasan Ibu Kota Baru

Kompas.com - 05/09/2019, 09:00 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A Djalil mengaku tak dapat mengendalikan lonjakan harga tanah di sejumlah kawasan di sekitar calon lokasi ibu kota baru.

Kenaikan harga lahan tersebut mengikuti mekanisme pasar, dan juga pertumbuhan nilai kawasan.

 

"Itu naik ya naik, kan enggak bisa dikontrol. Misalnya, ibu kota di (Penajam) Paser, naiknya di Samarinda, enggak bisa dikontrol itu. Bagaimana pemerintah melarang," kata Sofyan di Jakarta, Rabu (4/9/2019).

Sofyan menuturkan, lahan yang akan digunakan untuk pembangunan ibu kota baru merupakan lahan berstatus hutan tanaman industri (HTI) yang pengelolaannya dipegang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Baca juga: Sofyan Djalil Pastikan Tak Ada Tanah Adat di Lokasi Ibu Kota Baru

Ketika status HTI tersebut dilepas, nantinya ada badan otorita yang akan mengelola lahan itu.

Kendati demikian, tak menutup kemungkinan pemerintah menggunakan lahan milik warga untuk membangun akses konektivitas menuju ibu kota.

Ketika hal itu terjadi, pemerintah akan menggunakan mekanisme sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dalam pembebasannya.

"(Untuk mengendalikan harga) itu ada mekanismenya. Maka kita lagi tetapkan mana daerah ibu kota, tanah itu nanti akan di (land) freezing," cetus Sofyan. 

Sementara itu, untuk mengendalikan harga lahan di sejumlah wilayah, termasuk di luar Kalimantan Timur, saat ini pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan telah mendekati tahap akhir (final).

Dalam RUU tersebut terdapat aturan yang berfungsi mengendalikan spekulasi lahan.

"Nanti kita larang (yang) spekulasi, dengan sistem insentif disinsentif. Kan banyak orang beli tanah tanpa tujuan cuma buat harga naik, itu akan dilarang UU. Caranya bagaimana? Kalau orang melakukan itu akan diberi pajak yang lumayan besar," tuntas Sofyan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com