DALAM beberapa hari belakangan ini, perencanaan kota menjadi topik yang hangat diperbincangkan masyarakat. Bahkan banyak diskusi publik membahas aspek teknis, sosial, ekonomi, terutama aspek politis dari perencanaan kota.
Banyak pihak mendadak jadi perencana, bak suatu pekerjaan sehari-hari yang dapat diselesaikan melalui diskusi semata.
Sebagai perencana kota, saya banyak berdiskusi dengan para perencana utama di negeri ini. Selain terlibat dalam perencanaan dan desain kota-kota baru, saya beruntung dapat belajar dari teman seprofesi perkembangan kota-kota Indonesia dari Aceh sampai Papua. Dari Agam sampai Labuan Bajo, Wakatobi ke Banjarmasin.
Begitu kaya kota-kota kita tumbuh dan berkontribusi dalam perkembangan mahzab perencanaan khas Indonesia.
Pada era 1890-an, Ebenezer Howard melalui gerakan garden cit- nya membentuk kota-kota masyhur dengan green belts menciptakan zoning kota dan satelitnya yang dipenuhi taman. Mahzab ini diawali buku Howard yaitu To-morrow: A Peaceful Path to Real Reform.
Pada saat bersamaan, kota-kota Indonesia pun mengalami modernitasnya, terutama kota-kota kaya Hindia Belanda seperti Bandung sebelum menjadi kotapraja atau gementee. Bupati R.A.A Martanegara menjadi bapak kota modern Indonesia dengan banyaknya inovasi seperti dalam transportasi, kesehatan dan pembangunan kota.
Baca juga: City in The Forest, Konsep Pengganti Jakarta
Selain berkembangnya kawasan dagang utama zaman itu seperti Bragaweg, banyak bangunan modern baru mewarnai kota termasuk gerakan Freemason, yang sering dihubungkan dengan iluminati dan teori konspirasi.
Kira-kira 50 tahun kemudian, pada tahun 1933 Le Corbuzier dan kawan-kawan dalam Athens Charter memulai gerakan modernitas kota, dengan menghasilkan intensitas kota inti dan hutan beton.
Kota-kota pun mengikutinya dan hasilnya adalah kota besar yang semakin kompleks pada masa kini. Maka ketika gerakan Habitat 1 di Vancouver tahun 1976, kemudian Istambul dan New Urban Agenda di Quito 2016 bergulir untuk mencari makna masa depan dari livability, kembali kita semua mencari mahzab merencana yang relevan untuk wilayah dan lokalitas dunia.
Para perencana kota di negara kita saat ini mendapatkan kesempatan langka untuk membangun mahzab baru perencanaan kota di Indonesia.
Tak kurang dari ratusan rencana detail kota RTDR (rencana detail selevel kecamatan) dan aturan Zonasi saat ini sedang dalam percepatan penyusunan untuk memenuhi target online single submission (OSS) bagi izin investasi. Termasuk rencana pemindahan fungsi pemerintah pusat ke Ibukota Negara baru.
Tantangan teknis bukannya mudah, bahkan aturan-aturan merencana berupa pedoman penyusunan rencana pun harus disesuaikankan. Banyak kaidah-kaidah teknis dan filosofis yang harus di lakukan oleh ahlinya.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Kajian Jalan Tol Ibu Kota Baru
Ketika hari ini kita akan mendirikan kota baru pusat pemerintahan di Kalimantan dengan target 1,5 juta orang, maka serta merta kita dihadapkan pada tantangan merencana kehidupan manusia perkotaan di pulau yang menjadi paru-paru dunia.
Bagaimana aturan merencana di daerah katulistiwa, dengan suhu rata-rata 28-32 derajat celcius, kelembaban udara 80-90 persen dan curah hujan 4,000an mm sepanjang tahun?
Belum lagi kita harus menarik garis jalur-jalur ruang hidup baik bagi homo sapiens (manusia), ponggo pymaeus (orang utan), nasalis narvatus (bekantan), atau pardofelis badia (kucing merah) yang memiliki survival code masing-masing.