JAKARTA, KOMPAS.com - Visi Indonesia yang dibacakan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) Minggu (14/7/2019) malam, menuai beragam tanggapan.
Visi ini terkait soal infrastruktur yang kembali menjadi prioritas utama, dan akan dilanjutkan pengerjaannya dalam kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro mengatakan, visi Jokowi atas pengarusutamaan infrastruktur yang tersambung ke kawasan produksi rakyat perlu didukung.
Namun, Bernie mengingatkan, pembangunan infrastruktur dasar utama yang saat ini sedang berproses juga belum bisa menjawab semua kebutuhan gap infrastruktur kita.
"Arus utama visi pemerintah baru pada prinsipnya adalah konektivitas last miles, sambungan di ujung hilir," ujar Bernie kepada Kompas.com, Senin (15/7/2019).
Ada beberapa tantangan yang langsung terlihat di depan mata, terutama yang fokus pada hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (pemda).
Baca juga: Mudahkan Investasi, Pemerintah Tekankan Fleksibilitas RTRW
Isu yang akan mengemuka adalah kewenangan daerah seperti dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagai revisi dari UU Nomor 32 Tahun 2004.
Dalam kerangka pengembangan wilayah dan kota, menurut Bernie, tugas pemerintah cukup berat. Di level rural atau pedesaan, hal ini berarti membangun konektivitas jalan desa, jalur jalan pengangkutan pertanian, gudang pengumpul dan jaringan komersial angkutan komoditas.
Ketergantungan terhadap sistem ijon dan cengkeraman tengkulak, pengaturan harga petani, dapat diatasi dengan jalur pengangkutan yang efisien melalui penyediaan tanah yang cukup untuk pergudangan dan sarana pengumpul.
Penajaman terhadap konsep yang diajukan Pemprov Jabar seperti Super KEK Rebana di Cirebon, Patimban dan Majalengka, misalnya, menjadi konsep yang patut diperhatikan.
Demikian juga rincian Wilayah Pengembangan Strategis (WPS) utama yang dilansir oleh Kementerian PUPR melalui Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW)-nya.
Bernie mengatakan, meski tidak semua memiliki potensi, namun konsep WPS ini perlu diperas lagi ke tingkat operasional dan multi sektor, terutama dari sisi sumber daya produksi daerah.
Baca juga: Kajian Pemindahan Ibu Kota Harus Pastikan RTRW Tidak Berbenturan
Dalam level perkotaan, penjabaran visi pemerintah baru berarti mencari keseimbangan kampung-kota dengan target peremajaan kota (urban regeneration).
"Ini adalah kesulitan kota-kota kita, yang sangat terbatas kemapuannya dalam melaksanakan program revitalisasi dan peremajaan bagian kota," ungkap dia.
Terlebih, isu informalitas di kota besar, ketersediaan taman kota, penggunaan energi baru terbarukan dan gaya hidup hemat dan efisien, harusnya menjadi perhatian.
"Oleh karena itu, diperlukan pembangunan infrastruktur modern di kota-kota kita," imbuh Bernie.
Bagaimana kota menjadi efisien dan produktif. Ini adalah pekerjaan menyangkut konektivitas last miles dalam bidang transportasi perkotaan.
Gaya hidup kota vibrant yang sehat dan people scale harus diarusutamakan, dengan membangun fasilitas pejalan kaki.
Namun, dia tak menampik jika pembiayaan menjadi tantangan utama karena kemampuan fiskal daerah yang sangat terbatas.
Selain DKI Jakarta dengan APBD lebih kurang Rp 70-an triliun, kota-kota Indonesia lainnya sangat terbatas. Bahkan tidak akan mampu mencicil Availability Payment untuk sistem transportasi massal semisal light rail transit (LRT).
"Untuk mengatasinya realokasi anggaran di kementerian teknis harus dilakukan," tegas Bernie.
Dari sisi perencanaan strategis, tantangan besarnya adalah kepastian basis pembangunan dan izin, yaitu rencana detail baik kabupaten maupun kota.
Semua diatur dalam peraturan daerah (perda) sebagai produk kesepakatan politik, yang memakan waktu sangat lama untuk mencapai konsensus.
Sayangnya, sampai hari ini hanya 10 persen dari RDTR dan Peraturan Zonasi di kota dan kabupaten di Indonesia sudah sesuai aturan turunannya dari UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Ini memerlukan kerja besar dan keberpihakan anggaran agar dapat menyusun RDTR dan Peraturan Zonasi sesegera mungkin di semua kota/kabupaten.
"RTRW, RDTR dan PZ yang sah sesuai Perda justru adalah penjamin kegiatan investasi, sehingga kegiatan masyarakat dapat sesuai dengan peruntukannya dan dijamin keberlanjutannya. Jadi tidak benar pernyataan yang mengatakan RTRW tidak fleksibel dan menghambat," tambah Bernie.
"The devil is in the detail", imbuh Bernie, Jokowi harus memberikan perhatian besar pada perencanaan baik kota, kabupaten atau propinsi agar tidak lagi terjadi tarik ulur pemanfaatan ruang yang hanya menghasillan konflik di lapangan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.