Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

4 Fakta di Balik Turunnya Kejayaan ITC

Kompas.com - 05/07/2019, 06:03 WIB
Rosiana Haryanti,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com -  Sejumlah peritel mengumumkan menutup operasional toko fisiknya.

Tak hanya pemain besar, fenomena ini juga terjadi pada peritel skala kecil yang mengisi pusat perdagangan strata title atau beken dikenal dengan trade center.

Fenomena yang kami rekam adalah peritel-peritel di ITC Mangga Dua, sebagai salah satu pusat perdagangan pakaian di Jakarta, kini sepi pembeli.

Hal yang sama juga dijumpai di ITC Kuningan.

Banyak kios di ITC Kuningan yang disewakan kembali atau dijual melalui platform e-commerce, karena saking sepinya pengunjung dan pembeli.

Baca juga: Ini Penyebab Turunnya Kejayaan ITC (I)

Konsep trade center mewabah di hampir di seluruh kota-kota besar di Indonesia.

Tak hanya greater Jadebotabek, tetapi juga di Semarang, Surabaya, Medan, dan bahkan Makassar.

Ciri khas dari pusat belanja berkonsep trade center adalah homogen, seperti tekstil dan elektronik.

Akan tetapi, kenyataannya, hal ini tidak bisa menjamin kejayaan pusat perbelanjaan berkonsep trade center.

Turunnya kejayaan ITC terlihat dari lesunya transaksi di pusat perbelanjaan tersebut. Apa penyebabnya? Berikut 4 fakta di balik turunnya kejayaan ITC:

1. Tidak berstatus sewa atau lease mall

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alexander Stefanus Ridwan mengatakan, mayoritas pusat perbelanjaan tersebut berkonsep trade center dan merupakan bangunan strata title.

Baca juga: Ini Penyebab Turunnya Kejayaan ITC (II)

Artinya, setiap kios bisa dimiliki oleh perorangan maupun kelompok. Stefanus mengatakan, dalam satu pusat perbelanjaan, terdapat ribuan pedagang.

2. Pengelola dan pemilik kios tidak bisa menyatukan pendapat

Selain karena kepemilikan ada pada perorangan, trade center tidak bisa menjamin konsep community mall atau apapun yang bisa diimplementasikan dengan baik.

Hal ini kemudian yang menyebabkan pengelola dan atau pengembang kesulitan untuk menyatukan pendapat seluruh pemilik kios.

"Jadi enggak bisa diatur seperti mal sewa. Kalau mal sewa kan, saya mau ubah seperti ini misalnya penyewa mau enggak mau harus mengikuti. Kalau trade center, semau pemilik kios," kata Stefanus kepada Kompas.com, Rabu (3/7/2019).

3. Kurang inovasi

Bisnis ritel memerlukan inovasi. Lesunya penjualan, menurut Stefanus, karena pengelola dan pedagang juga sulit untuk mengambil keputusan bersama.

Baca juga: Bukan Belanja Online, Peritel Beken Tutup Lapak karena Alasan Ini...

Oleh karena itu, ia berpendapat, untuk menaikkan kembali pamor trade center, para pemilik kios maupun penelola harus menyatukan visi.

4. Tidak mau berubah

Pada era digital seperti ini, peritel juga harus mengikuti perkembangan zaman. Stefanus mengatakan, salah satu caranya adalah dengan menerapkan omnichannel.

Penerapan ini membuat pelanggan dapat menggunakan lebih dari satu channel penjualan seperti toko fisik, e-commerce, serta jual-beli via mobile.

Tak hanya itu, pengelola dan pemilik kios juga perlu mengikuti selera pasar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com