JAKARTA, KOMPAS.com - Ekspor produk kerajinan dan furnitur Indonesia pada 2018 mencapai 2 miliar dollar AS atau ekuivalen Rp 28,1 triliun.
Dilihat dari nilainya, potensi pengembangan produk ini pun dianggap cukup besar untuk menjangkau pasar luar negeri.
Meski demikian, Ketua Indonesia Furniture Promotion Forum (IFPF) Erie Sasmito menilai, masih ada kelemahan yang dimiliki dari pengrajin kedua produk ini.
"Pelaku industri kita rata-rata UMKM, apalagi yang berorientasi ekspor, itu adalah tukang jahit," kata Erie menjawab pertanyaan Kompas.com, Kamis (21/2/2019).
Tukang jahit yang dimaksud yakni mereka hanya menggarap produk-produk yang dipesan sesuai kriteria, kualitas, dan keinginan buyer. Di lain pihak, hasil kerajinan otentik yang mereka miliki kurang berkembang.
Baca juga: Pengusaha Furnitur Yakin Bisnis Tahun Ini Lebih Moncer
Wakil Ketua Umum Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII) Pusat Dina Hartadi mengungkapkan hal senada.
Menurut dia, dengan potensi ekspor yang besar, seharusnya pengrajin Tanah Air memiliki hasil produk berbeda yang menjadi ciri khas mereka.
"Memang benar ekspor furnitur kita ini lebih banyak sebagai penjahit ya, belum punya brand. Padahal dengan adanya brand itu bisa angkat nilai furnitur sendiri," kata Dina.
Untuk itu, sambung Dina, dengan berkolaborasi para pengrajin bisa menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan memiliki ciri khas tersendiri.
Tak hanya dari aspek desain tetapi juga dalam pemilihan material yang akan digunakan.
"Mungkin nanti dengan masuknya HDII karena kita akan membawa komunitas desainer, nanti bisa kerja sama, menciptakan satu desain khusus yang mungkin bisa lebih menjual," tuntas Dina.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.