JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin memastikan, tenaga kerja asing yang terlibat dalam pengerjaan proyek infrastruktur berteknologi tinggi, tak lebih dari 1.000 orang.
Syarif mengungkapkan hal itu dalam diskusi "PUPR expo 4.0" di Kantor Kementerian PUPR, Jakarta, Kamis (14/2/2019).
"Tak lebih dari 1.000 orang," sebut dia.
Menurut Syarif, tenaga kerja asing yang diimpor itu pun harus memiliki kualitas dan keahlian tingkat tinggi.
Pelibatan asing ini dilakukan karena Indonesia masih kekurangan tenaga kerja konstruksi yang memiliki kemampuan mumpuni.
Baca juga: Tak Bersertifikat, 7,68 Juta Pekerja Konstruksi Terancam Kena Sanksi
Tak mengherankan bila untuk menggarap proyek-proyek high technology seperti Moda Raya Terpadu atau MRT Jakarta harus mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri.
"Contohnya MRT, kita tidak punya tenaga, dan nihil pengalaman," kata Syarif.
Proyek MRT Jakarta yang dalam waktu dekat akan beroperasi, ini merupakan kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jepang.
Kerja sama yang terjalin tak hanya dari sisi pembiayaan, melainkan juga dari sisi transfer teknologi.
Menurut Syarif, 'impor' tenaga kerja konstruksi asing, biasanya turut menjadi salah satu syarat yang diberikan investor dalam kerja sama yang disepakati.
Meski demikian, Indonesia mendapatkan keuntungan dengan hadirnya tenaga kerja konstruksi asing tersebut.
"Kalau lihat struktur ke bawah, banyak juga tenaga Indonesia. Tinggal proses transfer knowledge, karena itu merupakan salah satu syarat," sambung Syarif.
"Jadi, mau tidak mau, kita harus lakukan percepatan SDM kita. Kalau tidak, pembangunan infrastruktur ini tidak akan sejalan dengan persiapan kita dari sisi SDM," imbuh Syarif.
Meski impor, Syarif memastikan, jumlah tenaga kerja asing yang bekerja untuk proyek konstruksi Indonesia tidaklah besar. Terutama untuk proyek pemerintah yang didanai melalui APBN.