Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demi Kepastian Investasi, Jokowi Minta Draft RDTR Dimatangkan

Kompas.com - 06/02/2019, 18:38 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Kementerian Graria dan Tata Ruang (ATR) mematangkan penyusunan rencana detail tata ruang (RDTR) di daerah demi kepastian investasi.

Presiden menyampaikan permintaan tersebut saat membuka rapat kerja nasional Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) di Istana Negara, Rabu (6/2/2019), seperti diceritakan Menteri ATR Sofyan Djalil.

Sofyan merespons positif permintaan tersebut, kendati pembentukan RDTR merupakan wewenang daerah. Namun secara kebijakan berada di tingkat pusat, tepatnya di Direktorat Jenderal Tata Ruang.

"Kami akan mematangkan RDTR. Ini wewenang ATR juga untuk menyusun draft kebijakan tata ruang yang efektif," kata Sofyan di Hotel Shangri-La Jakarta.

Hadirnya RDTR menjadi salah satu payung hukum yang penting dalam pembangunan wilayah pada masa depan.

Selain untuk memberikan kepastian dalam rangka investasi tetapi juga sebagai upaya pencegahan bila suatu saat terjadi bencana alam.

Baca juga: Kaleidoskop 2018: Upaya Digitalisasi di Tengah Minimnya Perda RDTR

Dengan penyusunan RDTR yang matang, segala potensi kerusakan akibat bencana pun dapat dipetakan sehingga dampak yang dirasakan akan seminimal mungkin.

"Dan harus pada level RDTR bukan RTRW. Kami sedang pikirkan bagaimana RTRW ini ditaruh di kursi belakang, tapi di depannya kami dorong supaya pemerintah daerah lakukan sebanyak mungkin RDTR. Tentu Online Single Submission (OSS) tidak bisa dilakukan dengan RTRW tapi dengan RDTR," tutur Sofyan.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN Abdul Kamarzuki mengatakan, dari 1.800-an rancangan peraturan daerah tentang RDTR, yang sudah menjadi perda baru 45 RDTR. Sementara yang lainnya masih dalam proses.

"Sebetulnya 1.800 itu bukan harga mati. Ke depan nanti mungkin bisa hampir 2.500-an RDTR tergantung dari kawasannya," kata Abdul di kantornya, Jumat (21/9/2018).

Menurut dia, tidak setiap wilayah kabupaten/kota memiliki satu perda RDTR. Beberapa bahkan ada yang memiliki 2-3 perda tergantung dari luas wilayahnya.

Setiap perda RDTR mencakup sebuah kawasan seluas 3.000 hingga 5.000 hektar. Abdul mengatakan, salah satu kesulitan dalam pembahasan raperda RTRW yaitu sinkronisasi persetujuan substansi (persub) dan masalah peta.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam persetujuan substansi mulai dari rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN), lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), ruang terbuka hijau, hingga kerawanan bencana.

Baca juga: Zona Daerah Bencana Harus Masuk RDTR

"Terakhir itu untuk masalah peta, kita perlu yang skala 5.000. Tapi di BIG itu hanya punya yang skala 50.000 dan 25.000 untuk yang Jawa. Nah ini yang kita upayakan agar teman-teman pakai peta yang ada dulu," papar Abdul.

Adapun kendala lain yang juga dihadapi yaitu masalah anggaran saat pembahasan. Tidak sedikit DPRD yang menganggap pembahasan raperda RDTR bukan sebagai persoalan yang penting.

Akibatnya, ketika Kementerian ATR telah membantu daerah untuk menyusun raperda RDTR, raperda yang telah disodorkan pun tidak bisa dibahas lebih lanjut.

Sementara, Kementerian ATR tidak bisa mengambil langkah lebih jauh, karena penetapan RDTR ini menjadi ranah daerah.

"DPR-nya lebih mementingkan yang lain, misalnya. Inilah kendala-kendala yang ada di daerah yang diluar kendali kontrol kami. Karena putusan ada di tangan mereka," kata Direktur Penataan Kawasan Kementerian ATR Agus Sutanto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com