Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaleidoskop 2018: Upaya Digitalisasi di Tengah Minimnya Perda RDTR

Kompas.com - 01/01/2019, 13:30 WIB
Rosiana Haryanti,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam rangka menjaga keteraturan pembangunan, setiap daerah harus punya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). RDTR memiliki dua esensi yaitu sebagai alat operasionalisasi RTRW dan alat acuan perizinan.

Keberadaan RDTR yang harusnya dikuatkan dalam bentuk rancangan peraturan daerah (raperda) ini juga cukup penting sebagai salah satu dokumen pendukung percepatan investasi. Setidaknya, ada beberapa hal yang menghambat proses pembahasan raperda tersebut.

Mulai dari sinkronisasi persetujuan substansi, keberadaan peta pendukung, hingga ketersediaan anggaran.

Adapun setiap wilayah kabupaten/kota, dapat memiliki 2-3 perda RDTR tergantung dari luas wilayah masing-masing.

Sedikitnya RDTR yang sudah jadi Perda

Meski pemerintah telah menerapkan sistem perizinan terintegrasi atau online single submission (OSS) untuk mempercepat investasi, kenyataannya masih banyak daerah di Indonesia yang belum mematuhi peraturan daerah tentang rencana detail tata ruang (RDTR) pada tahun 2018.

Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Abdul Kamarzuki mengatakan, dari 1.800-an raperda tentang RDTR, yang sudah menjadi perda baru 45 RDTR. Sementara yang lainnya masih dalam proses.

Menurut dia, tidak setiap wilayah kabupaten/kota memiliki satu perda RDTR. Beberapa bahkan ada yang memiliki 2-3 perda tergantung dari luas wilayahnya.

Setiap perda RDTR mencakup sebuah kawasan seluas 3.000 hingga 5.000 hektar.

Kendala

Abdul mengatakan, salah satu kesulitan dalam pembahasan raperda RTRW yaitu sinkronisasi persetujuan substansi (persub) dan masalah peta.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam persetujuan substansi mulai dari rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN), lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), ruang terbuka hijau, hingga kerawanan bencana.

Ilustrasi peraturanAndrea Rankovic Ilustrasi peraturan
Adapun kendala lain yang juga dihadapi yaitu masalah anggaran saat pembahasan. Tidak sedikit DPRD yang menganggap pembahasan raperda RDTR bukan sebagai persoalan yang penting.

Akibatnya, ketika Kementerian ATR/BPN telah membantu daerah untuk menyusun raperda RDTR, raperda yang telah disodorkan pun tidak bisa dibahas lebih lanjut.

Sementara Kementerian ATR tidak bisa mengambil langkah lebih jauh, karena penetapan RDTR meruapakan ranah daerah.

Perlunya digitalisasi

Berbagai kendala dalam pembuatan RTRW dan RDTR membuat banyak pihak menganggap perlunya digitalisasi.

Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN, Virgo Eresta Jaya, ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam digitalisasi RTRW dan RDTR.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com