JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam rangka menjaga keteraturan pembangunan, setiap daerah harus punya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). RDTR memiliki dua esensi yaitu sebagai alat operasionalisasi RTRW dan alat acuan perizinan.
Keberadaan RDTR yang harusnya dikuatkan dalam bentuk rancangan peraturan daerah (raperda) ini juga cukup penting sebagai salah satu dokumen pendukung percepatan investasi. Setidaknya, ada beberapa hal yang menghambat proses pembahasan raperda tersebut.
Mulai dari sinkronisasi persetujuan substansi, keberadaan peta pendukung, hingga ketersediaan anggaran.
Adapun setiap wilayah kabupaten/kota, dapat memiliki 2-3 perda RDTR tergantung dari luas wilayah masing-masing.
Meski pemerintah telah menerapkan sistem perizinan terintegrasi atau online single submission (OSS) untuk mempercepat investasi, kenyataannya masih banyak daerah di Indonesia yang belum mematuhi peraturan daerah tentang rencana detail tata ruang (RDTR) pada tahun 2018.
Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Abdul Kamarzuki mengatakan, dari 1.800-an raperda tentang RDTR, yang sudah menjadi perda baru 45 RDTR. Sementara yang lainnya masih dalam proses.
Menurut dia, tidak setiap wilayah kabupaten/kota memiliki satu perda RDTR. Beberapa bahkan ada yang memiliki 2-3 perda tergantung dari luas wilayahnya.
Setiap perda RDTR mencakup sebuah kawasan seluas 3.000 hingga 5.000 hektar.
Abdul mengatakan, salah satu kesulitan dalam pembahasan raperda RTRW yaitu sinkronisasi persetujuan substansi (persub) dan masalah peta.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam persetujuan substansi mulai dari rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN), lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), ruang terbuka hijau, hingga kerawanan bencana.
Akibatnya, ketika Kementerian ATR/BPN telah membantu daerah untuk menyusun raperda RDTR, raperda yang telah disodorkan pun tidak bisa dibahas lebih lanjut.
Sementara Kementerian ATR tidak bisa mengambil langkah lebih jauh, karena penetapan RDTR meruapakan ranah daerah.
Berbagai kendala dalam pembuatan RTRW dan RDTR membuat banyak pihak menganggap perlunya digitalisasi.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN, Virgo Eresta Jaya, ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam digitalisasi RTRW dan RDTR.