Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Paradigma Tata Ruang Indonesia Dianggap Masih Kuno

Kompas.com - 23/10/2018, 20:30 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Merebaknya kasus reklamasi Teluk Jakarta, dan dugaan suap perizinan Meikarta, dianggap sebagai hasil dari kekunoan paradigma tata ruang Indonesia.

Bila negara-negara di Eropa menganut dua mahzab dalam perencanaan tata ruang, hal demikian tidak terjadi di Tanah Air.

Indonesia seakan berjalan pada kompleksitas sindrom post kolonialisme.

Pengamat perkotaan dan pembangunan kawasan Andrea Peresthu mengungkapkan, mahzab pertama yang berlaku di Eropa yaitu German School.

Negara-negara seperti Jerman, Skandinavia, dan Belanda yang mengadopsi mahzab ini lebih menekankan aspek teknis engineering sebagai instrumen yang mengatur pemanfaatan ruang.

Baca juga: Kasus Meikarta, Potret Rumitnya Perizinan di Indonesia

Sementara, penganut mahzab kedua, yaitu Latin School seperti Perancis, Italia, dan Spanyol, melihat instrumen perencanaan lebih ke aspek sosial, ekonomi dan budaya.

Akibatnya, menjadi sangat sarat dengan dimensi politis dalam perencanaan tata ruang negara-negara tersebut.

"European planning tradition ini pun mengalami stagnasi sejak dunia beramai-ramai mengadopsi tiga pilar globalisasi (neo-liberalism, deregulation dan de-bureaucratization). Otomatis era pasar bebas membutuhkan fleksibilitas, khususnya land market yang sudah tidak bisa diproteksi seperti dulu lagi," kata Andrea dalam keterangan tertulis, Selasa (23/10/2018).

Kondisi terkini Meikarta, Sabtu (20/10/2018).Kompas.com/HILDA B ALEXANDER Kondisi terkini Meikarta, Sabtu (20/10/2018).
Dari sanalah, mantan Asisten Profesor di Fakultas Arsitektur Delft University of Technology itu menambahkan, perencanaan kehilangan fungsinya dari instrumen regulasi.

Pada akhirnya hanya menjadi instrumen untuk simulasi dan evaluasi yang mengarah pada instrumen pendukung dalam sebuah pengambilan keputusan.

"Lalu di mana posisi planning di Indonesia sampai hari ini? Menurut saya, perkawinan antara German school dengan kolonialisme. Paradigma tata ruang kita masih kuno, dan berjalan dalam kompleksitas post-colonial syndrome," kata Andrea.

Hasilnya, sambung dia, kalau ditelaah semua dokumen tata ruang Indonesia saat ini, lebih kental terasa sebagai pemetaan kondisi existing (data) dan belum menyentuh visi ke depan untuk perkembangan kota dalam jangka menengah dan panjang.

"Bagaimana wilayah dan kota kita akan dikembangkan pada masa depan, tidak pernah ada," cetus Andrea.

Pandangan tersebut, ungkap Andrea, dapat diketahui dari asal muasal perencanaan wilayah itu sendiri yang merupakan produk dari sosialis ortodoks.

Produk ini merupakan produk kaum intelektual kiri yang sudah banyak tidak relevan dalam pembangunan saat ini.

"Makanya karakter instrumen perencanaan itu selalu mengatur dan membatasi. Alhasil, instrument planning tidak terlalu favorable dalam tradisi negara-negara anglo-saxon," ujarnya.

Salah satu ciri pemikiran tersebut adalah pengaturan dan pembatasan melalui mekanisme perencanaan.

Hal ini tidak terlepas dari paradigma sosialisme dalam konteks geografis, dimana kota memiliki keterbatasan untuk berkembang dalam tiga hal.

Ketiga hal tersebut yakni alam (limited natural resources), penduduk (limited human resources – quality wise) dan dana (limited capital resources).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com