JAKARTA, KOMPAS.com - Bukan perkara mudah memetakan sebuah wilayah yang terkena dampak bencana seperti gempa bumi dan tsunami.
Diperlukan ketelitian dan akurasi tinggi untuk memastikan bahwa peta yang akan disampaikan kepada masyarakat benar-benar presisi.
Baca juga: Data OSM, Likuefaksi di Desa Jono Oge Seluas 436,87 Hektar
Pasalnya, hal ini tak hanya menyangkut soal berapa banyak korban jiwa maupun luka-luka, serta jumlah bangunan yang rusak. Tetapi juga mengenai mobilisasi logistik dan alat berat untuk proses evakuasi.
Country Manager Humanitarian OneStreetMap (OSM) Team Indonesia, Yantisa Akhadi menuturkan, salah satu kesulitan utama dalam membuat peta wilayah yang terdampak gempa yaitu data citra satelit.
"Biasanya terkendala citra satelit yang belum terupdate. Entah itu karena resolusinya kurang baik atau tertutup awan," kata Yantisa kepada Kompas.com, Selasa (9/10/2018).
Baca juga: Tiga Wilayah di Sulteng Paling Rawan Gempa dan Kekeringan
OSM menjadi salah satu lembaga non profit yang ikut membantu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ketika gempa bumi bermagnitudo 7,4 mengguncang wilayah Sulawesi Tengah.
Hal serupa juga dilakukan saat gempa mengguncang wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat bermagnitudo 6,4 pada Juli 2018 dan gempa Pide, Aceh bermagnitudo 6,5 pada Desember 2016 lalu.
Peta perkiraan yang dihasilkan kemudian disampaikan kepada BNPB sebagai salah satu data indikasi untuk memperkirakan jumlah korban dan kerusakan yang ditimbulkan.
Baca juga: Mereka yang Berjasa Memetakan Gempa Palu dan Donggala
Menurut Yantisa, semakin dekat jarak waktu data peta citra satelit dengan kejadian bencana, maka deviasi yang data yang dihasilkan semakin kecil.
"Misalnya citra satelit yang tersedia hanya tahun 2016, maka bangunan dan jalan yang dipetakan akan sesuai dengan tahun tersebut. Bangunan-bangunan dan jalan yang dibangun setelah itu tidak akan muncul kecuali citranya di update," kata dia.
Untuk mengatasi deviasi ini, ia menambahkan, biasanya ada beberapa provider citra satelit yang akan memperbarui datanya bila bencana besar terjadi. Hal ini untuk memberikan data yang lebih akurat kepada para pengguna jasa untuk memetakan dampak.
"Namun jika skala bencananya kecil, terkadang kita harus proaktif mencari atau meminta," tutup dia.