Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berdampak pada Bangunan, Likuifaksi Jadi Ancaman Besar di Palu

Kompas.com - 02/10/2018, 08:30 WIB
Rosiana Haryanti,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang menerjang wilayah Sulawesi Tengah masih menyisakan banyak kerusakan. Namun, bencana tak berhenti sampai di situ. 

Selain gempa dan tsunami, likuifaksi atau perubahan perilaku tanah akibat getaran gempa merupakan ancaman lain yang menghantui wilayah ini.

Hal ini diungkapkan oleh Rifai Mardin, dosen teknik arsitektur di Unversitas Tadulako, Palu. Dia mengatakan, bencana ini mengakibatkan kawasan permukiman padat seperti Balaroa tenggelam. Selain itu, daerah Petobo juga hanyut akibat lumpur yang menerjang.

"Bangunan yang hancur kebanyakan akibat tsunami dan likuifaksi," ujar Rifai kepada Kompas.com, Senin (1/10/2018).

Fenomena likuifaksi terjadi akibat tanah yang berubah menjadi lumpur seperti cairan dan kehilangan kekuatannya.

Bahkan ancaman kerusakan bangunan akibat likuifaksi bisa lebih besar dari tsunami itu sendiri. Rifai menuturkan, gempa menjadi salah satu pemicu terjadinya likuifaksi. Bencana ini, imbuhnya, memakan lebih banyak korban.

"Inilah bencana yang memakan korban banyak, rumah dengan umur yang sudah sangat tua di Baloroa tidak mampu melawan bencana ini. Semua rumah hancur, masuk tenggelam dalam tanah," ujar dia.

Bahkan untuk wilayah Palu, kerusakan yang diakibatkan oleh likuifaksi bisa lebih besar dibanding dengan kerusakan akibat tsunami.

"Sebaik apa pun struktur bangunan rumah, tidak akan mampu melawan kedigdayaan amarah bencana seperti ini," ucap dia.

Baca juga: Menteri PUPR Cek Tiga Lokasi yang Terkena Dampak Gempa di Palu

Warga dibantu petugas mencari korban gempa bumi Palu di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10/2018). Gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah mengakibatkan 832 orang meninggal.KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO Warga dibantu petugas mencari korban gempa bumi Palu di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10/2018). Gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah mengakibatkan 832 orang meninggal.
Rifai menjelaskan, bencana ini memang tidak dapat diprediksi, tetapi masih memungkinkan untuk diantisipasi. Salah satu caranya adalah dengan meminimalisasi penggunaan lahan permukiman di kawasan-kawasan rawan.

"Kalau sudah mengenal potensi bencananya, harus melakukan antisipasi di perencanaan," tutur dia.

Sebenarnya studi mengenai likuifaksi pernah dilakukan oleh Pemerintah Kota Palu. Namun sayang, hasil studi ini belum sempat disosialisasikan kepada masyarakat.

Selain di Palu, amblesnya tanah juga pernah terjadi di beberapa negara. Sebut saja bencana gempa yang mengguncang Niigata di Jepang pada 1964.

Bencana ini mengakibatkan berbagai infrastruktur, seperti jembatan dan bangunan apartemen, tenggelam ke dalam tanah.

Likuifaksi yang terjadi setelah gempa juga merusak hingga lebih dari 3.500 rumah. Di Jepang, fenomena ini juga pernah terjadi pada saat gempa tahun 1995 di Hanshin.

Selain Jepang, bencana ini juga pernah melanda Alaska pada 1964, serta Christchurch di Selandia Baru pada tahun 2010 dan 2011.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau