KOMPAS.com - Keanekaragaman budaya di Indonesia khususnya arsitektur bangunan dapat menjadi modal berharga bagi dunia pariwisata jika mampu dikelola dengan baik.
Pada era modern, keberanian mengangkat nilai-nilai kearifan lokal seperti seni arsitektur tradisional dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Indonesia.
Salah satunya adalah seni arsitektur Bali. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, Bhagawan Wiswakarma merupakan dewa para arsitek yang ditugaskan turun ke bumi untuk mengajarkan masyarakat Bali bagaimana membangun rumah dan lingkungannya.
Kini, arsitektur tradisional ini telah mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa Tengah pada abad ke-8, Jawa Timur pada abad ke-10 dan 11 dan pengaruh kebudayaan China serta Belanda.
Rumah-rumah tradisional Bali hingga kini masih mempertahankan ciri kearifan lokal. Salah satu contoh yang sampai saat ini masih dijaga adalah tidak boleh ada bangunan yang tingginya melebihi pohon kelapa.
Keserasian dengan alam
Harian Kompas, 16 Juli 1981 menyebutkan, hubungan yang erat antara manusia dengan alam, memang telah menjadi konsepsi perwujudan bangunan dengan Arsitektur Tradisional Bali.
Alam dan manusia dalam pandangan masyarakat Bali disebut sebagai Bhuwana Agung (Jagat Raya) dan Bhuwana Alit (Jagat Kecil).
Bhuwana Alit atau manusia dianggap memiliki unsur yang sama dengan Bhuwana Agung seperti alam. Oleh karena itu dalam konsep arsitektur Bali, harus ada kesesuaian antara bangunan, manusia penghuninya, dan alam lingkungan.
Secara filosofis, Bhuwana Agung dianggap memiliki tiga unsur yaitu Atma, Sarira, dan Tri Kaya. Persatuan ketiga unsur tersebut disebut Tri Hita Karana atau tiga hal yang menumbuhkan kebahagiaan.
Dalam rumah tradisional khas Bali, ketiga unsur tersebut diwujudkan dalam satu kesatuan yang ada dalam rumah tradisional.
Tempat persembahyangan atau pemerajan di rumah-rumah Bali merupakan perwujudan dari Atma. Atma atau tempat suci dalam suatu rumah dianggap sebagai bagian dari kepala dalam anggota tubuh, dan karena itu pula disebut sebagai bagian yang utama atau Utama Angga.
Sedangkan bangunan lain serta pekarangan rumah merupakan perwujudan Sarira atau badan. Bagian pekarangan suatu rumah merupakan perbandingan dari bagian badan dari tubuh yang disebut dengan Madia Angga.
Lalu bagian belakang rumah termasuk kandang babi disebut sebagai Nista Mandala. Sedangkan penghuni rumah dianggap sebagai Tri Kaya.
Di rumah tradisional Bali normalnya dibagi menjadi sembilan komposisi dan juga terdiri dari beberapa paviliun yang terpisah.
Bangunan-bangunan tradisional Bali biasanya bersifat terbuka atau setengah terkurung dengan mengandalkan pertukaran udara serta pencahayaan yang bebas dari luar.
Kecuali untuk Meten atau bangunan yang terletak di bagian Utara pekarangan. Bangunan ini memang tertutup rapat karena diperuntukkan bagi tempat tidur anak-anak gadis keluarga Bali.
Model bangunan yang terbuka merupakan bentuk keserasian arsitektur Bali dengan alam sekitar.
Arsitektur tradisional Bali tidak hanya mengenal pembagian suatu pekarangan rumah atau desa menjadi Utama, Madia, dan Nista (Tri Angga) saja.
Ketiga Angga tersebut juga diterapkan pada arah mata angin. Pada rumah tradisional masyarakat Bali Selatan, letak tempat persembahyangan adalah di arah Timur atau Utara atau sudut antara kedua arah tersebut.
Sedangkan di Bali Utara, tempat persembahyangan menghadap ke arah Selatan atau Timur.
Satuan ukuran rumah tradisional Bali
Arsitektur tradisional Bali juga mengatur tata letak satu bangunan dengan bangunan lainnya, termasuk mengatur ukuran setiap bangunan.
Semua ukuran tersebut berasal dari tubuh manusia pembuatnya. Ukuran tersebut dibagi menjadi beberapa jenis yaitu: