DENPASAR, KOMPAS.com - Selama ini rumah susun sewa (rusunawa) identik dengan penghuni korban penggusuran akibat pembangunan di perkotaan.
Namun, stigma itu perlahan mencoba dikikis seiring fenomena dinamis yang terjadi dalam kurun beberapa tahun terakhir.
Keterbatasan lahan, kalaupun tersedia harganya demikian tinggi, memaksa para konsumen untuk mengubah preferensinya mengenai rumah tinggal dari rumah tapak ke hunian vertikal.
Nah, rusunawa adalah pilihan yang paling memungkinkan untuk dapat diakses dengan harga terjangkau. Tidak saja oleh mereka yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), juga kalangan generasi milenial.
Baru-baru ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan terus menambah pasokan unit hunian bagi kedua kalangan ini.
Mekanismenya, pemerintah daerah (pemda) menyediakan lahan dan mengajukan usulan pembangunan rusun kepada Kementerian PUPR.
Dirjen Penyediaan Perumahan Khalawi Abdul Hamid menuturkan, MBR dan generasi milenial bisa memilih tipe studio. Sementara bila sudah berkeluarga bisa memiliki tipe 36.
"Harga sewanya relatif terjangkau dengan kualitas cukup baik. Nanti bila penghasilan semakin meningkat bisa mengangsur membeli apartemen/rumah tapak,” kata Khalawi usai Peresmian Rusunawa bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Kantor Imigrasi Kelas I Denpasar Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia di Denpasar, Bali, Sabtu (10/3/2018).
Hunian vertikal menjadi pilihan karena generasi milenial lebih memilih tinggal di kawasan perkotaan. Hunian vertikal juga mengurangi laju konversi lahan perdesaan menjadi perkotaan.
Rusunawa tersebut dibangun Kementerian PUPR dengan anggaran tahun 2017 sebesar Rp 14 miliar.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.