Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Willy Sakareza

Penulis adalah alumni SMA Taruna Nusantara Angkatan 13

Indonesia Darurat Insinyur Milenial!

Kompas.com - 26/02/2018, 18:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

KOMPAS.com - Boleh jadi, 20 Februari 2018 lalu menjadi tanggal yang menarik pemberitaan di Tanah Air. Pembangunan jalan tol yang menghubungkan Bekasi hingga Kampung Melayu menelan korban luka.

Kecelakaan proyek ini semakin menambah catatan kelam pembangunan infrastruktur Indonesia. Tercatat, beberapa kecelakaan proyek juga terjadi sebelumnya, seperti kecelakaan proyek MRT di Jakarta Selatan di Januari 2018 dan kecelakaan proyek LRT di Jakarta Timur di November 2017.

Namun, tulisan ini tidak akan menajamkan berbagai opini mengenai kurangnya perhatian akan keselamatan kerja hingga kemungkinan adanya pengusutan secara pidana oleh penegak hukum. Hanya, berupaya untuk menyadarkan semua pihak kalau Indonesia masih kekurangan banyak sekali insinyur, khususnya insinyur milenial.

Bukan (lagi) Cita-cita

Profesi insinyur sempat dikenal baik oleh masyarakat ketika tayangan Si Doel Anak Sekolahan, yang diperankan dengan baik oleh Rano Karno, hadir di layar kaca. Si Doel, yang disebut Anak Betawi Asli, merupakan mahasiswa teknik yang diharapkan oleh sang ayah, Babe Sabeni, yang diperankan dengan kharisma seorang Benyamin Sueb, menjadi seorang insinyur.

Sang Babe yang merupakan pemilik sebuah oplet butut, mengharapkan profesi insinyur akan memberikan Doel kehidupan lebih baik. Pernah ada satu adegan dimana Babe kecewa hingga menangis ketika Doel menyerah untuk menjadi insinyur.

Sinetron layar kaca yang tayang di era pertengahan 90-an itu selaras dengan kebijakan pemerintah saat itu untuk memberikan gelar insinyur kepada mahasiswa teknik yang lulus sarjana tingkat satu (S1).

Namun, sejak 1993, setiap lulusan fakultas teknik hanya diberikan gelar sarjana teknik dan gelar Insinyur akan diberikan oleh lembaga profesi insinyur. Itu berarti, 25 tahun sudah kebijakan tersebut berjalan.

Masalahnya, alasan terkini mahasiswa berkuliah di fakultas teknik belum tentu karena ingin menjadi seorang insinyur. Ini beda betul dengan mahasiswa yang menuntut ilmu di fakultas kedokteran, yang hampir pasti karena ingin menjadi seorang dokter, bahkan menjadi dokter spesialis.

Bagi mahasiswa teknik, mendapatkan gelar sarjana teknik sudah cukup untuk memulai dan meniti karir. Relatif jarang sebuah perusahaan yang bergerak di bidang keteknikan mensyaratkan karyawan barunya untuk bergelar insinyur.

Di sisi lain, saya sendiri belum pernah menemukan seorang dokter di rumah sakit yang hanya memiliki gelar sarjana kedokteran tetapi tidak memiliki gelar profesi dokter.

Hal itu selaras dengan informasi Persatuan Insinyur Indonesia yang menyebutkan minimnya sarjana teknik yang meneruskan karirnya di bidang keteknikan. Seperti berita yang dilansir Kompas.com pada 2016 lalu, hanya ada 750.000 insinyur di Indonesia. Itu pun hanya 40 persen atau sekitar 300.000 insinyur yang bekerja sesuai keahliannya.

Angka 300.000 tersebut pun harus dikritisi lebih lanjut. Seberapa banyak insinyur milenial (berusia di bawah 30 tahun) di dalam kelompok tersebut? Sebuah pertanyaan besar tanpa jawaban yang jelas.

Penghargaan vs kesempatan

Kurangnya insinyur milenial selalu menjadi pertanyaan besar. Alasan penghargaan atau kurangnya apresiasi dan keuntungan menjadi insinyur selalu disebutkan. Namun, apakah alasan tersebut akurat dan sesuai akar permasalahan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com