JAKARTA, KompasProperti - Kendaraan pribadi masih mendominasi pilihan masyarakat untuk mobilisasi di jalan-jalan Jakarta.
Tak mengherankan, bila kondisi jalanan di Ibu Kota dari waktu ke waktu kian macet. Meski tak dapat dipungkiri bila sejumlah pekerjaan proyek konstruksi turut menyumbang kemacetan tersebut.
Berdasarkan data yang diungkapkan Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko pada akhir September 2017, preferensi masyarakat dalam menggunakan sarana transportasi umum hanya sekitar 12-15 persen.
Menurut Sigit, alasan masyarakat malas menggunakan moda transportasi umum yakni keterbatasan armada, serta konektivitas antar moda transportasi yang masih rendah.
Karyawati salah satu perusahaan swasta nasional di bilangan Sudirman ini mengaku, tak jarang ia harus menunggu cukup lama di jam sibuk untuk bisa diangkut bus yang lahir pada era mantan Gubernur Sutiyoso tersebut.
"Jarak waktu tunggu bus cukup lama, bahkan bisa sampai 1 jam. Belum lagi waktu tempuh untuk rute yang dituju. Jalur Ragunan-Monas via Mampang itu macet parah," kata Isna kepada KompasProperti, Jumat (17/11/2017).
Padahal, berdasarkan data yang ada, jumlah bus Transjakarta yang akan beroperasi tahun ini bertambah menjadi 2.383 unit. Dari jumlah tersebut, 1.431 unit di antaranya diketahui milik operator dan 952 unit sisanya milik PT Transjakarta.
Sementara, dari jumlah bus yang akan dimiliki PT Transjakarta, 539 unit di antaranya dalam rencana penambahan, baik itu Single Bus BRT, Single Bus Low Entry, Single Bus Royal Trans dan Single Bus Minitrans.
Isna mengatakan, pada jam sibuk, tingkat kemacetan di kawasan Mampang demikian parah. Meski telah menggunakan transportasi umum, tak jarang masyarakat pun sering terlambat ke kantor.
"Pernah merasakan kemacetan hingga telat sampai kantor gara-gara macet 1,5 jam di Mampang," kata dia.
Jalur modifikasi
Karena kemacetan ini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno meminta PT Transjarta memodifikasi jalur bus tersebut.
Namun persoalan lain timbul akibat perubahan jalur ini. Misalnya, penumpang yang kurang terinformasi atas perubahan jalur ini tak jarang justru menjadi bingung.
Kendati sudah ada petugas yang membawa papan bertuliskan lokasi tujuan, masih ada saja penumpang yang bingung dengan perubahan jalur tersebut.
"Saran saya, sebaiknya layar televisi di halte Transjakarta, tak hanya menyediakan informasi jadwal kedatangan bus tetapi juga rutenya sekaligus, sehingga masyarakat tidak perlu bingung mencari informasi," kata dia.
Konektivitas antarmoda
Sementara itu, terkait persoalan konektivitas antar moda, menurut Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Yoga Adiwinarto, hal itu harus terus dipikirkan Pemprov DKI.
Beberapa waktu lalu, ia mengungkapkan, sempat muncul wacana agar koridor tersebut dihapus setelah nantinya Mass Rapid Transit (MRT) beroperasi. Namun, bila wacana itu direalisasikan, dikhawatirkan justru menimbulkan persoalan baru.
"Ini berbahya. Orang yang dari Koridor I ini gimana? Apakah mau nyambung dengan MRT terus bayar lagi? Kedua, yang sudah mau sampai, nanggung, terus ganti naik turun tangga MRT, aduh itu lama banget," kata Yoga.
Ajaibnya, mayoritas responden sepakat mereka memilih ganti moda transportasi dengan menggunakan transportasi berbasis daring.
"Kalau begini, proyek triliunan rupiah itu jadi tidak seefektif itu. Dalam Transjakarta, konektivitas itu menjadi persoalan yang sangat penting," tuntasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.