Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Intervensi dan Insentif, Kunci Atasi "Backlog" Rumah

Kompas.com - 16/10/2017, 21:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KompasProperti - Kendati pemerintah tengah gencar merealisasikan Program Nasional Pembangunan Sejuta Rumah, namun angka kebutuhan rumah yang belum terpenuhi atau backlog masih tetap saja tinggi.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin mengatakan hingga September 2017 angka backlog mencapai 11,4 juta unit dengan kebutuhan per tahun 800.000 unit.

Sebanyak 20 persen di antaranya tergolong ke dalam jajaran rumah komersial yang tidak memerlukan subsidi.

Sedangkan, 20 persen lainnya tergolong ke dalam kelompok bawah yang membutuhkan bantuan sosial dari pemerintah. Pasalnya, meskipun sudah diberi kemudahan fasilitas kredit, mereka tidak mampu membeli rumah.

"60 persen sisanya merupakan kalangan menengah yang memerlukan bantuan subsidi," kata Syarif.

Pemerintah, kata dia, berharap agar pengembang swasta dapat turut membantu dalam menyediakan rumah yang harganya terjangkau bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. 

Mencermati fenomena ini, pengembang Indonesia yang berbasis di Sydney, Australia, Iwan Sunito, justru memandang angka backlog sebagai potensi dan peluang yang harus dimanfaatkan.

Angka backlog, kata Iwan, merupakan kebutuhan yang sangat besar dan menjadikan Indonesia sebagai pasar raksasa di Asia Tenggara.

Namun demikian, tentu saja, peran pengembang harus sejalan dengan visi dan misi pemerintah dalam menyediakan hunian demi terwujudnya Program Nasional Pembangunan Sejuta Rumah.

Iwan yang juga CEO Crown Group menuturkan, angka backlog sejatinya bisa diatasi jika ada intervensi kuat dari pemerintah, dan tersedianya insentif untuk industri material bangunan bagi pengembang yang berkontribusi mereduksi ketimpangan pasokan rumah.

Pasalnya, masalah utama perumahan di Indonesia adalah ketersediaan lahan murah, kebijakan perbankan yang berdampak pada akses masyarakat kelas menengah bawah, serta pelaku bisnis properti terkait.

"Saya kira pemerintah harus turun tangan dalam penyediaan lahan bagi hunian bersubsidi serta kebijakan perbankan perihal kredit konstruksi dan insentif untuk bahan-bahan bangunan yang dipergunakan untuk membangun hunian bersubsidi," papar Iwan kepada KompasProperti, Senin (16/10/2017).

Jika hal ini bisa dipenuhi maka setidaknya jumlah pasokan bisa lebih mengejar kebutuhan, serta harga yang ditawarkan juga akan lebih terjangkau.

Harga terjangkau

Iwan mencontohkan Australia. Menurut dia,masing-masing pemerintah Negara Bagian memiliki kewajiban untuk menyediakan hunian bersubsidi di atas lahan pemerintah bagi golongan menengah ke bawah.

Ilustrasi apartemen.vkyryl Ilustrasi apartemen.
Dan sistem yang berlaku adalah sewa bulanan dengan kisaran harga 300 dollar Australia hingga 500 dollar Australia untuk tipe 1 kamar tidur.

Meski begitu, imbuh Iwan, yang perlu dicermati adalah harga hunian ini haruslah terjangkau walaupun lokasinya berada di pusat kota, di mana harga sewa rata-rata sudah mencapai sekitar 2.000 dollar Australia per bulannya.

"Seringkali hunian bersubsidi tersebut dijadikan sebagai batu pijakan sebelum akhirnya mereka bisa memiliki hunian sendiri," tambah Iwan.
 
Selain itu, masyarakat di Australia juga hanya dibebani pembayaran uang muka atau down payment (DP)  10 persen pada awal transaksi. Sisa pembayaran dilakukan seiring serah terima unit hunian baik melalui cicilan maupun tunai.

Perbankan di Australia juga memberikan bunga yang relatif lebih kecil dibandingkan suku bunga pinjaman di Indonesia.

"Bahkan, perbankan memberikan insentif bagi masyarakat yang ingin membeli rumah untuk kali pertama," sebut Iwan.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com