PENGANTAR: Data dari Pusat Pengembangan Teknologi Transportasi Berkelanjutan - ITB menyebutkan, pemborosan akibat pembangunan infrastruktur di sepanjang koridor tol Jakarta-Cikampek diestimasi membengkak 100 persen dari sebelumnya atau bertambah sekitar Rp 7,8 triliun per tahun.
Jika masa pembangunan mencapai 24 bulan, pemborosan sumber daya waktu dan BBM akibat kemacetan parah itu bertambah Rp 15,6 triliun dibandingkan tanpa ada pembangunan. Tulisan ini mencoba mengelaborasi beban sosial dan ekonomi yang harus ditanggung oleh semua pihak terkait efek pembangunan yang serempak dan massif.
KEMACETAN telah menjadi ritual sehari-hari masyarakat perkotaan, khususnya di daerah Jabodetabek. Kemacetan juga terjadi di berbagai ruas jalan penghubung antarkota.
Salah satunya adalah koridor tol Jakarta–Cikampek (Japek). Pemerintah melakukan berbagai upaya dalam menangani kemacetan di koridor tol Japek.
Misalnya dengan membangun Light Rapid Transit (LRT) dan Kereta Api Cepat Jakarta–Bandung sehingga masyarakat dapat beralih menggunakan transportasi umum tersebut. Namun, pemerintah juga melakukan kebijakan yang bisa dibilang kontradiktif dengan membangun koridor tol Japek Elevated atau Jalan Tol Layang.
Dibilang kontradiktif karena tol elevated tersebut bukan proyek yang fokus untuk peningkatan layanan transportasi umum.
Pembangunan ketiga proyek besar dalam waktu bersamaan telah menimbulkan side effect negatif yang besar karena kemacetan semakin parah. Ada dua jenis kerugian dominan yaitu pemborosan waktu dan bahan bakar.
Baca juga: Jasa Marga: Kepadatan Luar Biasa di Tol Jakarta-Cikampek karena Ada Proyek
Berikut perkiraan pemborosan waktu dan bahan bakar, menghitungnya digunakan data arus lalu lintas bulanan tahun 2017 (Januari, Februari dan Maret) dari PT Jasa Marga untuk koridor tol Japek. Dari data tersebut, diketahui bahwa setiap harinya terdapat sekitar 600.000 kendaraan yang melewati koridor ini.
Asumsi moderat occupancy mobil sebesar 1,67 dan average trip length 0,65 panjang tol Jakarta- Cikampek. Data lalu lintas tersebut kemudian dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kategori peak, off-peak dan malam.
Kategori off-peak berada di antara kedua kategori di atas. Juga dibedakan nilai waktu di hari kerja dan libur.
Proporsi kendaraan yang digunakan untuk estimasi pemborosan mengacu pada data PT Jasa Marga, sebanyak 82 persen dari arus lalu lintas merupakan kendaraan pribadi, pick-up, truk dan bus kecil (Gol I), 11 persen merupakan truk 2 gandar (Gol II) dan sisanya, yaitu 7 persen (Gol III, IV, dan V) adalah truk 3-5 gandar.
Perhitungan kerugian BBM dan waktu didasarkan pada selisih antara do-nothing dan do-something scenario. Do-nothing scenario didefinisikan sebagai kondisi tidak adanya penyempitan kapasitas dikarenakan pembangunan LRT, HST dan Japek Elevated.
Sedangkan kondisi do-something adalah kondisi sebaliknya, yaitu dengan adanya pembangunan beragam infrastruktur transportasi tersebut.
Berdasarkan data Pusat Pengembangan Teknologi Transportasi Berkelanjutan - ITB, pemborosan sehari-hari di koridor tol Jakarta-Cikampek berlipat dua kali atau membengkak 100 persen atau bertambah sebesar Rp 21,45 miliar dibanding sebelumnya. Dengan rincian Rp 2,15 miliar merupakan kerugian BBM dan Rp 19,3 miiar merupakan kerugian nilai waktu.
Asumsi nilai waktu diambil rerata wilayah Jakarta, Bekasi, Karawang, Bandung yakni Rp 30 ribu per jam. Angka Rp 30.000 per jam adalah asumsi biaya tenaga kerja produktif per jam. Angka ini sudah termasuk moderat, setara dengan gaji Rp 6.000.000 per bulan.
Dengan asumsi itu, maka pemborosan tahunan diperkirakan mencapai Rp 7,8 triliun, sehingga selama masa pembangunan (direncanakan selama 24 bulan) pemborosan sumber daya waktu dan BBM membengkak sebesar Rp 15,6 triliun. Terkait perhitungan teknis angka-angka ini, penulis bisa menguraikannya dalam tulisan terpisah.
Sumbangan pemborosan kemacetan diperkirakan 65 persen berasal dari pembangunan tol elevated, 20 persen dari LRT, dan 5 persen dari Kereta Cepat Jakarta–Bandung, sedangkan 10 persennya berasal dari pekerjaan perbaikan jalan.
Kemacetan bisa diatasi jika masyarakat terutama pengendara kendaraan pribadi mengubah perilaku berkendaranya sehari-hari. Ini hanya bisa, bila tersedia pelayanan angkutan umum yg menarik dan terjangkau.
Baca juga: Jasa Marga Berencana Batasi Truk Melintas di Tol Jakarta-Cikampek
Di koridor Jakarta-Cikampek, seharusnya kebijakan fokus saja dulu mengembangkan jaringan dan layanan angkutan umum dengan target mengubah perilaku para komuter.
Tak lama setelah selesai pembangunan menurut pengalaman akan terjadi equilibrium baru, kemacetan tetap menjadi ritual sehari-hari, akibat pertumbuhan dan tidak terkendalinya tata ruang sepanjang wilayah yg dilalui koridor tol.
“Bukankah LRT sedang dibangun dalam koridor yang sama, juga jalan tol Bekasi- Cawang- Kampung Melayu red.) sedang dibangun?”
Selain meningkatkan jaringan dan layanan angkutan umum, keterpaduan operasi jaringan jalan dan jalan tol juga dapat mengurangi kemacetan dengan memberlakukan ramp-metering di pintu-pintu masuk jalan tol, juga menerapkan keterpaduan transaksi tol non-tunai antaroperator tol yang berbeda dan bersebelahan.
Membangun jalan tol layang menuju tengah kota jangan sampai menular ke koridor tol Jagorawi dan Tangerang. Bila ini terjadi, maka lengkaplah sudah jaringan jalan dan jalan tol Jabodetabek menjadi ritual harian pemborosan BBM.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.