Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Harun Alrasyid Lubis
Ketua Umum Masyarakat Infrastruktur Indonesia (MII)

Harun berpengalaman sebagai profesional di bidang akademik, kegiatan penelitian, dan konsultasi selama tiga puluh tahun. Tercatat pernah bekerja sebagai konsultan di PT LAPI ITB, dan perusahaan milik negara, Asian Development Bank (ADB), INDII dan Bank Dunia di bidang kebijakan, dan perencanaan transportasi, operasi, keuangan dan institusi, mencakup transportasi perkotaan dan nasional.

Selain dosen di ITB, Harun menjabat ketua umum Masyarakat Infrastruktur Indonesia (MII), dan Infrastructure Partnership and Knowledge Center (IPKC)

Maju Mundur Proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Seberapa Pentingkah?

Kompas.com - 01/08/2017, 18:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHilda B Alexander

Seberapa pentingkah proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya? Bahkan bila dibandingkan dengan proyek pelabuhan di seluruh Indonesia?

Menurut saya, semua penting dan perlu dikaji prioritas dan urgensinya masing-masing. Khusus rencana Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, sudah ada dalam Rencana Induk Pekeretaapian Nasional 2030 ( RIPNAS).

Bila dua kota terbesar di Indonesia ini bisa ditempuh dalam waktu hanya 3 jam, maka lalu lintas penerbangan domestik yang semakin padat, waktu antrean mendarat pesawat yang terus meningkat, antrean panjang saat check in dan macet menuju bandara, akan bisa dicegah sebelum darurat dan membawa bahaya pada masa depan.

Sudah barang tentu banyak penghematan lain yang diperoleh. Terutama hemat penggunaan energi jangka panjang, karena moda kereta cepat lebih efisien dengan daya angkut massal.
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai pemegangang konsesi memang baru mendapat lisensi sampai Bandung, dan tentu skala jarak, penting dilanjutkan sampai Surabaya.

Pertanyaannya kemudian, mengapa pemerintah lebih memilih kerjasama dengan China dibandingkan Jepang? Apakah dari sisi teknologi atau politik semata?

Saya berpendapat, lebih banyak komitmen bisnis dan keuntungan ekonomi bagi Indonesia dengan menggandeng China, ketimbang Jepang. Namun demikikan, kesepakatan business to business antar-BUMN kedua negara masih tetap mememerlukan pendampingan pemerintah dalam urusan pembebasan lahan. Pembebasan lahan itu menjadi prasyarat sebelum dana pinjaman yang dijanjiKan cair.

Jepang sendiri menawarkan hutang bilateral, sementara China menawarkan investasi 40 persen dari total modal sendiri perusahaan sebanyak 25 persen dari total investasi. Sisanya 60 persen merupakan konsorsium BUMN nasional.

Selain itu, China juga memfasilitasi dana pinjaman sebesar 75 persen dengan persyaratan-persyaratan, salah satunya kemajuan pembebasan lahan. Faktor lainnya, tentu saja rencana KCIC yang akan membagun industri Kereta Cepat di Tanah Air pada masa mendatang.

Porsi 10:90 kurangi risiko

Terkait keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengubah porsi Indonesia-China sebesar 10:90 untuk mengurangi risiko, perlu konsistensi.

Sebagai korporasi, sudah setahun lebih KCIC beroperasi dengan kerangka kesepakatan bisnis yang sudah disepakati. Namun begitu, KCIC masih terseok urusan internal konsorsium menyangkut pembebasan lahan.

Sementara di sisi lain, ketersediaan dana dan target-target fiskal pemerintah semakin terbatas, kompetitif dan ketat untuk mengeksekusi sejumlah program infrastruktur massif, khususnya lewat penunjukkan langsung BUMN seperti light rail transit (LRT) atau Kereta Cepat Jakarta-Surabaya.

Sebagian BUMN yang mendapat penugasan sangat mendesak seperti LRT sebagian telah mendapat suntikan dana melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). 

Sejak awal, pemerintah sudah memutuskan tak akan menyuntik dana PMN untuk KCIC. Hal ini tentu saja membuat sibuk membuat konsorsium BUMN Nasional dalam upaya pembebasan lahan, dengan waktu yang terus berjalan.

Perubahan porsi 10:90 berpotensi membuat semua rencana menjadi mentah kembali, walau pun bisa jadi China menginginkan, karena mereka berpikir futuristik sebagai bagian agenda diplomasi industri dan pemasaran teknologi tinggi kereta cepat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com