KOMPAS.com – "Musim" mudik baru saja lewat. Jalan Tol Trans-Jawa jadi primadona para pemudik di Pulau Jawa. Salah satu "temuan" terbaru dari jalan tol ini adalah gerbang yang punya latar belakang pemandangan gunung seperti gambar di atas.
“Tol Trans-Jawa itu Jalan Daendels ya?” tanya Siti Djauhariah lewat layanan pesan singkat kepada Kompas.com, sesaat setelah Visual Interaktif Kompas (VIK) Merapah Trans-Jawa 2 tayang, pada akhir Juni 2017.
(Simak: VIK Merapah Trans-Jawa 2)
Waktu itu, Kompas.com dengan lugas langsung menjawab, “Bukan, Ibu. Ini di Pantai Utara (Pantura). Jalan Daendels ada di jalur selatan”.
Namun, pertanyaan itu ternyata meninggalkan gelitikan untuk membuka ulang catatan sejarah soal Jalan Daendels. Jangan-jangan Kompas.com salah memberi jawaban, fatal pula.
Lamat-lamat ingat, pelajaran sekolah juga menyebut soal jalan utama sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer di Banten sampai Panarukan di Jawa Timur. Jalan itu pun disebut dibangun atas perintah kumendan kumpeni bernama Daendels.
(Kulik: Buku Ekspedisi Anjer-Panaroekan: Laporan Jurnalistik Kompas, 200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan)
Lalu, dari mana pula itu ingatan soal Jalan Daendels di jalur utama selatan Pulau Jawa?
Jalan Pos
Maka, perburuan dokumen dan referensi sejarah pun dimulai. Pertama yang dikulik adalah Daendels dan 1.000 kilometer jalan dari Anyer sampai Panarukan.
Inilah jalan yang disebut memakan korban jiwa sampai 12.000 jiwa dalam proses pembangunannya.
Ribuan orang ini kehilangan nyawa dalam periode kerja paksa, setelah dua tahap pembangunan sebelumnya dilakukan pekerja konstruksi biasa lalu dilanjutkan pasukan zeni kumpeni.
Kerja paksa itu dilaksanakan setelah kumpeni kehabisan biaya untuk membayar tentara dan pekerja profesional. Adapun pelibatan militer sebelumnya dipilih pemerintah kolonial Hindia Belanda karena jalan yang dibangun melewati perbukitan dan pegunungan batu yang butuh peralatan seperti meriam untuk meratakannya.
Jalan yang pembangunannya dimulai dari perintah Daendels yang ini kemudian dikenal sebagai “Jalan Pos”. Inspirasinya konon dari keberadaan jalan serupa di Roma. Awalnya, pengguna utama jalan ini memang para petugas pengantar dokumen pemerintahan dan kebutuhan militer.
Kisah pilu kerja paksa pembangunan jalan antara Anyer dan Panarukan tersebut antara lain diceritakan kembali oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, terbit pada 2005.
Keberadaan jalan itu kemudian menjadi cikal bakal kehadiran jalan-jalan utama di Pulau Jawa yang masih bisa dilewati sampai saat ini. Namun, jalan tersebut juga bukan seluruhnya jalan utama lintas Pantura yang ada sekarang. Tidak pula jalan tersebut dijajari Tol Trans-Jawa yang sekarang masih dalam konstruksi.
(Baca juga: Dari Jalan Daendels ke Jalan Tol Trans-Jawa)
Kawasan Puncak, contoh lain, kini tak lagi jadi jalur utama ke arah Bandung, setelah kehadiran Tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi (Purbaleunyi).
Situasi serupa juga terjadi di pesisir utara Jawa Tengah selewat Semarang ke arah Jawa Timur yang tak dipilih menjadi lintasan Tol Trans-Jawa ke ujung Jawa Timur.
Jalan Daendels di jalur selatan Jawa
Nah, jalan yang satu ini lebih redup pamornya. Padahal, keberadaannya justru lebih awal daripada Jalan Pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan.
Jalan Daendels di selatan mempunyai rentang lebih pendek, yaitu dari Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta sampai Cilacap di Jawa Tengah, melipir pantai selatan Pulau Jawa. Panjangnya hanya sekitar 130 kilometer.
(Baca juga: Jalan Daendels Siap Jadi Jalur Alternatif Mudik Pantai Selatan Jawa)
Jalan yang sama dipakai pula oleh Pangeran Diponegoro sebagai jalur perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada 1825-1830. Ini lebih dikenal dengan periode Perang Diponegoro.
Nama Daendels yang diterakan untuk jalur di selatan tersebut merujuk pada nama Augustus Dirk Daendels, asisten residen Ambal, wilayah pecahan dari Bagelen—sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo—yang menjabat pada 1838.
Pemasangan nama baru tersebut memang sengaja dilakukan untuk meredupkan pamor Diponegoro dan kenangan atasnya. Informasi soal Daendels yang ini antara lain bisa didapat dari Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar..., terbitan 1839.
Untuk membedakan dengan Jalan Daendels yang membentang dari Anyer hingga Panarukan, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyebut jalan Daendels selatan sebagai “Jalan Utama”.
Menyusuri Jalan Daendels yang ini, sederet lokasi wisata pantai bisa disusuri. Pantai-pantai di kawasan pesisir selatan Kulon Progo, seperti Congot, Glagah, dan Trisik bisa disambangi lewat jalanan mulus dan sepi.
Belum lagi pesona pantai di wilayah Kebumen yang tak kalah menarik dari wahana di Bali dalam versi yang jauh lebih sepi dan masih alami.
(Baca juga: Menanti Pagi di Pantai Menganti...)
Sejumlah versi referensi bahkan membedakan Jalur Diponegoro dan Jalan Daendels Selatan, termasuk dalam draf rancangan pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan Selatan (JJLSS) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Nah, ternyata memang ada dua jalan menggunakan “label” Daendels, yang di utara pun tak semuanya dijajari Jalan Tol Trans-Jawa....