JAKARTA, KompasProperti - Pembangunan infrastruktur yang sudah, sedang, dan akan dilakukan di berabagai lokasi di Tanah Air, tidaklah selalu berjalan mulus seperti yang diperkirakan.
Pejabat berwenang ataupun kalangan pengembang seringkali menjelaskan, terdapat empat hal yang menjadi kendala pembangunan infrastruktur.
Keempat hal tersebut adalah regulasi yang belum lengkap, persiapan proyek yang tidak matang termasuk pembebasan tanah, formulasi dukungan pemerintah (government support) yang tidak jelas, serta keterbatasan finansial di tubuh pemrakarsa/pengembang.
Ketua Masyarakat Infrastruktur Indonesia (MII) Harun Alrasyid Lubis mengungkapkan hal tersebut kepada KompasProperti, Kamis (1/6/2017).
Padahal, menurut Harun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberi arahan agar pembangunan infrastruktur terlaksana, kita harus lebih berorientasi kepada hasil bukan prosedur.
"Prosedur termasuk regulasi mengikuti saja dan bila perlu diperbaiki di tengah jalan setelah ada hasil," ujar Harun yang juga Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dengan penugasan khusus BUMN ini, kemajuan dan hasilnya sudah terlihat dan terbukti di lapangan.
Meskipun demikian, kata Harun, masih tersisa risiko prosedur dan pakem-pakem yang biasa dianut selama ini menyusul harus direvisinya Peraturan Presiden (Perpres) mengenai penunjukkan, kelembagaan pengembang, dan kontrak kerja.
Hal-hal lainnya yang harus dibenahi adalah, risiko fiskal, finansial, risiko keberlanjutan operasi bahkan risiko mangkrak di kemudian hari?
Harun menjelaskan, risiko terbesar yang hampir dapat dipastikan adalah risiko defisit operasi di mana pendapatan operator jauh di bawah biaya operasi kelak. Otomatis pemerintah harus masuk untuk mengatasinya lewat kemudahan insentif dan subsidi.
Namun sebelum itu, pemerintah harus mengkaji dan menghitung manajemen risiko dari akumulasi subsidi yang diperlukan.
Sebagai rule of thumb setiap tahun biaya operasi dapat mencapai 5 persen hingga 7 persen dari belanja modal atau capital expenditure (capex), sehingga selama beroperasi 40 tahun misalnya, paling tidak biaya operasi akan berakumulasi menjadi 2,5 kali capex saat pengadaan awal.
Reformasi layanan angkutan massal
Ada banyak opsi untuk menggali sumber anggaran selain APBN yang jumlahnya terbatas itu. Di antaranya mengatur sumber pendapatan user pay (tarif), dan land value capture (LVC).
Ke depan, kata Harun, perlu dipastikan juga semangat reformasi pelayanan angkutan perkotaan yang hanya bisa diselesaikan bila memenuhi 5 persyaratan penting.
Persyaratan pertama, membentuk otoritas atau koordinasi transportasi perkotaan, terutama di kota-kota metropolitan seperti wilayah Jabodetabek, Bandung Raya, Medan, dan Surabaya.
Kedua, kebijakan transportasi perkotaan dan penggunaan lahan (tata ruang), demi meningkatkan kualitas udara kota.
Ketiga, pastikan ada mekanisme pembiayaan angkutan massal untuk menjamin keberlanjutan operasi dan keuangan jangka panjang/
Contohnya, regulasi tersebut adalah aturan value capture dari peningkatan nilai properti untuk mengurangi subsidi angkutan umum.
Kelima, pembangunan sarana tranportasi perkotaan mutlak harus didukung semaksimal mungkin oleh sumberdaya lokal yang memadai dan mumpuni.
Model kemitraan dengan investor asing harus tetap mementingkan peran pengusaha dan sumberdaya lokal.
"Langkah awal harus dimulai dengan menghapus sistem setoran, memadukan dan merestrukturisasi semua pelayanan angkutan umum, dan armada angkut yang ada," tuntas Harun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.