Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Demam TOD, Komersialisasi Berlebihan, dan Pilihan Peremajaan Kota

Kompas.com - 25/04/2017, 13:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHilda B Alexander

Perubahan ruang kota dan peradaban selalu hadir dalam tatanan perkotaan. Pertumbuhan kota yang berawal dari ruang-ruang persimpangan sudah ada sejak awal peradaban masehi.

Penjajahan Romawi atas Israel, dan era Byzantium sampai ke kemenangan Ottoman atas Konstantinopel, dari Eropa hingga Afrika Utara.

Kota tumbuh dari desa transit, di mana lalu lintas perdagangan dan masyarakat bertemu. Selain itu, percepatan aneka budaya dan peradaban mewarnai pertumbuhan kota-kota.

Tengok Bethlehem, tempat kitab-kitab mengabadikan kisah klasik tentang migrasi warga yang menjadi catatan tertua, dan bagaimana kota bertumbuh.

Di sana, saat ini kita bisa melihat sisa berbagai peradaban. Di beberapa titik ekskavasi sejarah Bethlehem kita bisa melihat tumpukan satu kebudayaan di atas budaya lainnya, dan jalan modern adalah bukti ribuan tahun perkembangan ruang hidup manusia yang terus berubah.

Kota-kota pun mengalami berbagai perubahan seiring perubahan sosial, ekonomi dan politik. Era mega city Roma baru yang dibangun kaisar Constantine sejak Byzantine, pun harus berubah pada zaman Ottoman.

Pertumbuhan kota-kota baru seperti Adrianople (sekarang Edirne), Nicodemia (sekarang Izmit) menjadi tonggak dinamika pertumbuhan kota dunia.

Kota-kota terus mengalami trajektori percepatan dalam perubahan, baik skala maupun desainnya. Namun ada juga kota kecil, seperti Kashgar di Tajikistan, yang walaupun menjadi transit Jalur Sutera, tetap merupakan kota kecil sub-sistem dari kota besar Tashkent.

Evolusi terjadi dari kota seperti Jerusalem tua yang kecil serba dekat karena tidak ada sarana transportasi di mana semua warga jalan kaki, ke perubahan kota skala mega zaman Mesir dan Roma. Sprawl menjadikan kota modern kita raksasa karena jalan tol dan rel kereta api.

Kini, kita memasuki zaman perkembangan desain kota modern dunia yang kembali menuntut kota yang compact dengan people scale (skala manusiawi). Tengok Kopenhagen, Melbourne, dan Vancouver, yang semakin nyaman bagi warganya.

Dinas Bina Marga DKI Jakarta Kondisi terkini dari proyek simpang susun Semanggi. Terlihat dua jalan layang (flyover) melingkar yang tengah dibangun kini sudah sepenuhnya jadi.
Nah apa benang merah dari ribuan tahun peradaban di kota? Bahwa kota terus mengalami peremajaan, secara alamiah maupun melalui berbagai fenomena intervensi manusia dan konflik ruang tak berkesudahan.

Kota hanya bisa semakin relevan bagi warganya, kalau senantiasa berkembang melalui peremajaan yang produktif.

Demam TOD

Secara tidak sadar (alamiah) kota-kota Indonesia pun terus akan mengalami transformasi. Tantangannya sekarang adalah, bagaimana cara melakukan akselerasi, supaya peremajaan bagian kota terjadi eksponensial untuk menciptakan ruang kota yang layak hidup.

Seiring percepatan pembangunan infrastruktur angkutan massal di kota-kota kita, ada ruang kesempatan besar. Dengan melihat titik-titik transit antar-moda, di mana titik kumpul dan bangkitan lalu lintas warga tinggi.

Maka pertumbuhan di sekitarnya, atau yang disebut transit oriented development (TOD), niscaya menjadi irisan ruang yang sangat potensial bertumbuh cepat.

Saat ini istilah teknis di kalangan perencana dan arsitek, TOD, secara tidak proporsional telah dijadikan brand dan gimmick pemasaran di kalangan masyarakat awam.

Ini bisa terjadi karena pemikirannya hanya dari aspek komersial semata. Ada bahaya over commercialization dari TOD.

KOMPAS.com/Wahyu Adityo Prodjo Pengunjung Kota Tua Jakarta sedang menaiki sepeda onthel di pelataran Museum Fatahillah, Jakarta, Selasa (23/6/2015).
Pemikiran-pemikiran komersial ini sangat terbatas pada usaha penyelenggaraan layanan transportasi massal untuk mendapatkan non-farebox income yang seolah-olah bisa dilakukan di tiap titik stasiun.

Padahal dari pengalaman banyak negara, tidak semua titik transit bisa jadi vibrant dan punya nilai komersial yang sama.

Konsekuensinya, model bisnis kawasan TOD dan pengembalian investasi yang diharapkanpun menjadi moderat, karena ada misi keuntungan ekonomis yang harus dicapai demi membangun bagian kotanya.

Kesempatan Peremajaan Kota Jakarta

Tengok Jakarta, mega city terbesar ke-4 di dunia. Baik pemerintah DKI maupun penyelenggara mass rapid transit (MRT) harus punya keyakinan dalam melihat public service obligation (PSO), namun tetap bisa menjamin keberlanjutan dan kelangsungan infrastruktur tersebut 50 tahun ke depan.

Pada saat yang sama, Jakarta harus memakai kesempatan pengembangan kawasan TOD sebagai bagian dari kebijakan peremajaan kota.

Kahfi Dirga Cahya/KOMPAS.COM Taman BMW banyak ditumbuhi alang-alang dan genangan air yang tinggi, Senin (16/3/2015)
Solusinya, penyelenggara angkutan massal seperti MRT bisa menjadi ujung tombak peremajaan kota, bersama pemerintah DKI menciptakan kawasan khusus sekitar TOD yang dikawal oleh Peraturan Rancang Kota.

Ini termasuk pemberian hak khusus pengelolaan dan pengembangan kawasan, maksimalisasi gross floor area (GFA), sehingga pengelola bisa mendapatkan internal rate of return (IRR) yang menarik, pada gilirannya investor akan mau berinvestasi sambil meremajakan kota.

Nah, masalahnya sekarang adalah bagaimana menciptakan ini secara terencana, dan bukan secara kebetulan. Saat ini basis aturannya sudah tersedia, antara lain dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Kesempatan harus diambil Jakarta untuk melakukan peremajaan dan revitalisasi kota demi menciptakan kawasan-kawasan layak hidup berkualitas, serta membawa Jakarta sejajar dengan kota-kota mega dunia.

Ada pilihan kebijakan dan manajemen yang harus di ambil pimpinannya, karena Jakarta adalah kota dunia.

Seperti dikatakan Amanda Burdens, seorang profesional perencana kota dari lingkungan miliuner yang menjadi Chief Planner kota New York :

"A city isn’t something that happens to you. You make choices every day that shape and make your city".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com