JAKARTA, KompasProperti - Meskipun kondisi pasar apartemen secara umum masih lebih baik dibanding perkantoran, namun pertumbuhan harganya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Baca: Terburuk Sejak 1999, Harga Perkantoran Anjlok 30 Persen
Riset Cushman and Wakefield Indonesia membuktikan hal itu. Penurunan pertumbuhan harga terjadi sejak tiga tahun lalu.
Tak main-main, besaran penurunan terhitung signifikan, 20 persen per tahun. Dari sebelumnya pertumbuhan harga tercatat 40 persen pada 2014, menjadi hanya 20 persen pada 2015.
Kondisi ini terus berlanjut hingga 2016 yang terjun bebas menjadi hanya 8 persen.
Saat ini, harga rata-rata apartemen di Central Business District (CBD) Jakarta sekitar Rp 49,3 juta per meter persegi. Sementara di area premium sekitar Rp 42,5 juta per meter persegi.
"Penurunan pertumbuhan harga ini disebabkan kemerosotan penjualan sebagai akibat dari perekonomian yang masih lesu," ujar Director Research and Advisory Cushman and Wakefield Indonesia Arief Rahardjo menjawab KompasProperti, Senin (10/4/2017).
Arief menuturkan, tingkat penjualan pada kuartal I-2017 berubah dari 97,2 persen menjadi 96,5 persen. Hal ini disebabkan penjualan dari proyek yang baru selesai (completed) lebih rendah.
Demikian halnya dengan catatan pra-penjualan yang mengalami perubahan 1,4 persen lebih rendah secara triwulanan, dan 2,9 persen secara tahunan dengan menyisakan 86.808 unit yang belum terserap.
Dari beberapa segmen apartemen, riset Cushman and Wakefield juga melaporkan pra-penjualan proyek kelas atap masih tetap tinggi yakni 74,2 persen selama periode Januari-Maret 2017.
Disusul proyek kelas menengah-atas dan menengah yang menunjukkan tingkat pra-penjualan 59,4 persen.
Demi proyeknya terserap pasar, para pengembang masih menawarkan metode pembayaran bersahabat seperti tunai bertahap selama maksimal 3 tahun, kredit pemilikan apartemen (KPA) dengan bunga khusus, dan lain-lain.
"Pembeli proyek kelas menengah, dan atas lebih memilih cara pembayaran tunai bertahap. Sementara pembeli kelas menengah bawah lebih memilih pinjaman KPA," ungkap Arief.
CEO Moizland Group Chandra Goetama membenarkan, pembeli kelas menengah bawah lebih memilih metode pembayaran KPA.
"90 persen konsumen kami membayar dengan KPA. Dan mereka merupakan end user atau pengguna akhir," kata Chandra yang proyek perdananya yakni The Palm Regency and Condominium sudah terserap 300 unit dari total 987 unit.
Selain serapan dan penjualan, Cushmand and Wakefield juga mencatat tingkat hunian apartemen mengalami penurunan sekitar 2,8 persen menjadi rata-rata 56,2 persen.
Pajak progresif
Terkait wacana pengenaan pajak progresif pada apartemen kosong alias tak dihuni, Arief menilai tidak akan efektif menggenjot pendapatan negara.
Sebaliknya, wacana penerapan pajak yang berlebihan akan berdampak pada berkurangnya minat investor untuk membeli properti.
"Akibatnya, tingkat penjualan secara umum akan terus berkurang," kata Arief.
Tak dimungkiri jika pembeli apartemen di Jakarta dan kota-kota lain saat ini masih didominasi investor dengan komposisi 60 persen hingga 70 persen. Karakter pasar apartemen, lanjut Arief, memang berbeda.
Karena itu, wacana pengenaan pajak progresif seyogianya dilakukan pada saat yang tepat. Hal itu akan berjalan efektif apabila kondisi pasar sudah berangsur normal.
Dinamika siklus properti, tambah Arief, memang selalu terjadi. Pada saat kondisi ekonomi membaik, daya beli kuat, banyak properti dibangun.
Ekonomi dan bisnis yang melemah sejak tahun 2015 mengakibatkan pasokan berlebih (over supply), karena tidak terserap pasar dengan baik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.