Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wacana Pajak Progresif Apartemen Kosong Dinilai Tidak Efektif

Kompas.com - 10/04/2017, 18:00 WIB
Ridwan Aji Pitoko

Penulis

JAKARTA, KompasProperti - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mencuatkan wacana penerapan pajak progresif untuk apartemen tak dihuni, termasuk yang tidak dijual.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Housing Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto menganggap Kementerian ATR/BPN tidak ada kaitannya dengan penerapan pajak tersebut.

Pasalnya, Zulfi menilai jika kewenangan Kementerian ATR/BPN hanyalah dalam hal pemberian status strata title, sedangkan yang berkaitan dengan pajak seperti Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan lainnya adalah kewenangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Namun demikian, meski otoritas pengenaan pajak pada pribadi atau badan ada di Kemenkeu, tetapi ATR/BPN merupakan kementerian penting dalam menentukan besarannya di samping Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Jadi, Kementerian ATR/BPN nggak bisa menentukan pajak, nggak ada kewenangannya kalau bicara properti," jelas Zulfi saat dihubungi KompasProperti, Senin (10/4/2017).

Zulfi juga kemudian mempertanyakan pajak jenis apa yang akan dikenakan kebijakan progresif tersebut mengingat kewenangan Kementerian ATR/BPN hanya menerbitkan sertifikat strata title saja.

"Jadi yang mau diprogresifkan apanya? Sertifikat? Nggak mungin kan kalau sudah keluar sekali nggak keluar lagi. PBB? Tanahnya itu kan ke Kantor Pajak PBB dengan Pemda," tanya dia.

Tidak efektif

Sementara itu menurut Director Research and Advisory Cushman and Wakefield Indonesia Arief Rahardjo seyogianya disesuaikan dengan kondisi pasar properti Indonesia yang masih mengalami perlambatan sejak 2015.

thinkstock Ilustrasi apartemen
"Sepertinya pemerintah terus menggenjot pendapatan pajak dari semua industri termasuk sektor properti. Tapi, timing-nya harus disesuaikan," ujar Arief.

Jika sekarang diterapkan, lanjut dia, tidak tepat karena semua stake holders di industri properti, termasuk pembeli, pengguna, pengembang, dan perbankan masih berusaha bangkit ke kondisi semula.

Penyebab utama masih lesunya pasar properti ini, kata Arief, adalah daya beli yang belum meningkat.

Bahkan, malahan di beberapa sektor properti terjadi kelebihan pasokan yang mendorong turunnya tingkat hunian (okupansi), dan juga merosotnya harga jual serta harga sewa.

Arief menilai wacana pengenaan pajak progresif pada apartemen tak dihuni tersebut tidak akan efektif jika diterapkan sekarang.

Sebaliknya, hal itu akan efektif jika kondisi pasar sudah normal. Pasalnya, dinamika siklus properti memang akan selalu terjadi.

Pada saat kondisi ekonomi membaik, daya beli kuat, banyak properti dibangun. Saat ini setelah ekonomi dan bisnis melemah sejak tahun 2015 mengakibatkan pasokan meluber yang pada gilirannya tidak dapat diserap pasar dengan baik.

www.shutterstock.com Ilustrasi.
Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan kondisi dan karakter pasar apartemen yang menurut Arief demikian berbeda.

"Karakter pasar apartemen memang berbeda karena sampai saat ini secara umum, sekitar 60 persen-70 persen (tergantung daerahnya) dari total unit masih dibeli oleh investor," tambah Arief.

Jadi, dengan wacana penerapan pajak yang berlebihan akan berdampak pada berkurangnya minat investor untuk membeli properti tersebut. Ujung-ujungnya, tingkat penjualan bakal mengalami penurunan.

Sofyan Djalil sendiri mengakui, ide pajak progresif apartemen kosong berasal dari Kementerian ATR/BPN, tetapi belum bisa segera dilaksanakan dalam waktu dekat.

"Kami pikirkan kembali soalnya kondisi properti langi sulit. Kami redakan ide itu, kan perlu dibahas lebih lanjut jadi belum bisa ada keputusan," ujar Sofyan di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Jumat (7/4/2017).

Selain itu, Kementerian ATR juga akan memutuskan kelanjutan nasib rencana pajak progresif apartemen kosong di internal terlebih dahulu sebelum membawa teknisnya ke Direktorat Jenderal Pajak.

"Itu kan wacana awal-awal, kami harus pikirkan kembali dan keputusannya itu harus di tingkat yang lebih tinggi," kata Sofyan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com