Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelas Menengah Tanggung dan Lingkaran Setan Dilema soal Rumah...

Kompas.com - 07/04/2017, 17:07 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com
– “Apartemen Tak Dihuni Kena Pajak Tinggi”. Judul berita utama harian Kontan edisi Jumat (7/4/2017) ini langsung menyegarkan mata sebagian besar anak muda generasi milenial. Terutama jika mereka masuk dalam “anggota” golongan kelas menengah tanggung yang masih pusing tujuh keliling urusan tempat tinggal.

Di situ disebut, ada dokumen yang bilang apartemen tak dihuni,  antara lain,  bakal dikenakan kenaikan pajak. Ujung-ujungnya, rencana ini disebut menjadi bagian upaya Pemerintah memenuhi kebutuhan rumah orang Indonesia, yang saat ini berkutat dengan klaim backlog 11,4 juta rumah per 2015.

(Baca juga: Butuh 29 Tahun Hapuskan “Backlog” Rumah)

Kelas menengah tanggung itu ya kira-kira yang gajinya enggak naik-naik dari kisaran Rp 5 juta sampai Rp 10 juta per bulan. Buat golongan ini, mau beli rumah bersubsidi sudah tidak masuk kualifikasi, tetapi melirik rumah non-subsidi harus berhadapan dengan lingkaran setan dilema lain lagi.

Dilema lain lagi tersebut adalah hitung-hitungan harga, ukuran dan lokasi, serta proporsi cicilan maksimal terhadap pendapatan bulanan. Jangan lupa, Survei Harga Properti Residensial yang dilansir Bank Indonesia menyebut, per akhir 2016, 77,22 persen konsumen masih mengandalkan kredit bank (KPR) buat beli rumah.

Mau harga terjangkau dengan maksimal cicilan tak melanggar aturan perbankan, siap-siap ketemu lokasi di pinggir kota atau paling banter gang senggol di kampung mana di Jakarta. Harga terjangkau itu pun jangan dibayangkan lagi di kisaran Rp 100 juta-Rp 200 juta ya.

Soal ukuran rumah juga kurang lebih begitu. Mau longgar ya berarti jauh atau terima saja ukuran “pas-pasan” kalau mau dekat. Ini belum menghitung lingkungan sosial dan sebagainya, sebagai daftar pertimbangan pilihan tempat hidup bertahun-tahun.

Shutterstock Ilustrasi apartemen
Artikel harian Kontan itu pun lalu mengingatkan Kompas.com pada satu tulisan lawas di kanal Properti, merujuk pada kejadian di Singapura.

Harga properti di negara berbiaya hidup paling mahal sedunia seperti ditulis The Economist pada edisi Selasa (21/3/2017) ini juga sama memusingkannya seperti di Jakarta. Bedanya cuma di “level” harga, yang jelas di sana punya angka nol lebih banyak kalau dikonversikan ke rupiah, sesuai tingkat pendapatan dan skala ekonominya.

Pada 2015, tulis artikel lawas Kompas.com, Singapura melelang 159 apartemen yang kosong. Kenaikan pajak, pasar yang tak sanggup membeli atau menyewa apartemen dengan “harga lama”, ditambah proyeksi kehadiran properti baru siap huni dalam hitungan 1-2 tahun, ujung-ujungnya memicu harga turun, Saudara-saudara!

(Baca juga: Pasar Melemah, 159 Apartemen Kosong Dilelang)

Lho, bukannya yang selalu berdengung adalah ungkapan-ungkapan seperti “properti itu investasi yang tak pernah rugi karena harga pasti naik”, “jangan tunggu harga naik pada Senin”, dan sejenisnya?

Selamat datang di negeri salah kaprah dan “aji mumpung”, wahai teman-teman senasib sepenanggungan....

Properti, apalagi hunian, sejatinya bukan investasi. Mau pakai rujukan dokumen internasional atau lokal, papan, istilah jargon untuk rumah dan hunian, malah seharusnya merupakan hak dasar yang sederajat dengan makan dan pakaian. Di pencatatan akuntansi pun keuangan, barang ini seharusnya masuk klasifikasi aset, bukan investasi.

thinkstockphotos Ilustrasi investasi

Kalau teorinya mau dijabarkan satu per satu, bakal kepanjangan ini tulisan. Awamnya, salah kaprah rumah jadi investasi karena orang sadar harga rumah akan mengikuti kenyataan dan hukum dasar ekonomi, bahwa harga terbentuk dari siklus penawaran dan permintaan.

Ketika permintaan terus ada sementara pasokan mepet, otomatis harga mahal. Apesnya, yang punya duit beli terus, sementara aslinya sudah punya rumah bagus. Toh, kalau tak dihuni sendiri—buat variasi tempat pulang lah—bisa disewakan dan jadi pendapatan pasif, pikir golongan ini.

Rentetan berikutnya, pas pengin barang baru atau sial kepepet urusan butuh duit, rumah bisa dijual atau jadi jaminan “sekolah” di pegadaian dan bank. Karena belinya pakai cicilan di bank yang pasang bunga, jualnya juga tak mau rugi dong, minimal impas.

Jadilah siklus pikiran harga rumah pasti naik, rumah bisa jadi investasi, dan seterusnya.

Kalau sudut pandang pertama adalah hitungan duit dan cari untung, mana ada teringat tetangga yang pontang-panting bayar kontrakan 12 meter persegi seumur hidup, boro-boro mereka yang “nyolong-nyolong” tinggal di pinggir kali....

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Suasana permukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta, Jumat (22/7/2016). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan segera menggusur bangunan dan permukiman di kawasan Bukit Duri yang berbatasan langsung dengan Sungai Ciliwung dan akan merelokasi warga yang rumahnya terkena gusur ke Rusun Rawa Bebek.

Faktanya, menjadikan rumah sebagai investasi pun bukan sekali dua kali mendatangkan hasil amsyong. Terlebih lagi kalau jualnya atas nama kepepet dan dikejar-kejar kebutuhan mendesak atau strategis.

Artikel “Cermat dalam Berinvestasi Properti...” di harian Kompas edisi 20 September 2016, misalnya, sedikit banyak menggambarkan kemungkinan tersebut. Artikel ini menyentil tren “harga naik hari Senin” yang rawan “mempermainkan” ekspektasi pasar, bahasa teknis tentang harapan sekaligus kekhawatiran konsumen yang rentan berdampak pada penentuan harga.

Apakah lalu rencana Pemerintah menaikkan pajak apartemen kosong, kalau benar-benar jadi kebijakan kelak, bisa menurunkan harga rumah di pasaran?

Karena belum terjadi, tak baik berandai-andai. Namun, analogi bisa datang dari peristiwa politik dan kebijakan di tanah seberang, Amerika Serikat.

Judul tulisan The Economist edisi 8 Mei 2015, yaitu “Markets, democracy and economics- The winning formula?”, mungkin bisa jadi inspirasi. Kalau pasar benar-benar tak lagi mampu membeli, harga pasti turun karena pedagang mau jualan.

Masalahnya, selama tak ada terobosan luar biasa mengatasi tantangan kepemilikan rumah kelas menengah ke bawah, permintaan akan selalu ada.

Nah, inspirasi mungkin bisa dibalik lagi barangkali.

Kalau sekian banyak pemilik dan pedagang bersama-sama menawarkan harga bersaing dan masuk akal, ditambah aturan ketat sekaligus berat buat orang-orang kelebihan duit berhobi "menimbun" rumah yang toh tak dihuni sendiri itu diberlakukan, masa harga tidak benar-benar turun dan karenanya kelas menengah tanggung ke bawah bisa beli rumah?

Thinkstock/Maxsattana Ilustrasi rumah dan harga yang terus naik

Kok tidak bahas urusan rumah buat orang miskin atau kelas ekonomi bawah? Lah, yang rutin gajian saja masih susah kalau bahas urusan tempat tinggal layak, otomatis enggak sih yang bawah juga jelas lebih pusing lagi tentang ini?

Terus, inspirasi dan solusinya kok banyak berandai-andai dan seperti berharap pada kebaikan pengembang, pedagang, kepala daerah, calon kepala daerah, atau saudara-saudara yang mendapatkan rezeki lebih melimpah?

Nah, kalau sudah kepikiran poin ini, berarti tiba saatnya lebih kencang mengingatkan pemerintah tentang tugas suci-nya atas kewajiban pemenuhan hak dasar setiap warga negara....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau