Tampaknya Indonesia masih akan berkutat dengan tema percepatan infrastruktur, bahkan sampai dua dekade ke depan.
Tidak ada ruang jeda, karena ketersediaan infrastruktur dasar kita perlu direalisasikan apabila negara ini akan tumbuh pada level potensialnya, di atas 6 persen per tahun. Jika itu tercapai, Indonesia akan berjaya sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia.
Namun untuk mewujudkan itu bukan perkara gampang, masih banyak masalah saat ini dalam praktiknya. Secara mendasar, infrastruktur merupakan tanggung jawab pemerintah.
Swasta atau institusi internasional apalagi lokal, hanya akan ikut serta apabila memang ada jaminan pengembalian modal serta model keikutsertaannya bisa tetap mencapai return yang dimandatkan para pemegang saham mereka.
Faktor yang menjadi pertimbangan juga tentunya adalah country risk Indonesia dan kendala klasik pembebasan lahan, dan tumpang tindih aturan pusat-daerah.
Nah, pemerintah saat ini dengan pemikiran percepatannya, menyebabkan hampir semua proyek-proyek infrastruktur yang secara finansial sebenarnya sangat menarik dan memungkinkan swasta ikut serta, justru menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Alasannya selain cepat, juga trauma karena banyak swasta yang mendapat konsesi tidak punya kapasitas membangun. Mereka hanya mengandalkan sebagai penjaja kontrak konsesi.
Dapat dimafhuni jika sekarang, peluang keikutsertaan swasta hanya ada pada infrastruktur yang financial return-nya pas-pasan atau bahkan kecil.
Padahal banyak potensi sudah rapi tertera pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016. Sudah banyak kemajuan seperti proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan, dan proyek pembangunan jaringan serat optik, Palapa Ring.
Tahun lalu, dari 225 proyek strategis dan 30 prioritas, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) sudah mulai melaksanakan pra-studi kelayakan. Selanjutnya akan dibahas untuk maju ke Final Business Case (FS) agar mendapat fasilitas PDF dari Kementerian Keuangan.
Jangan sampai mandek
Sementara di sisi lain, kita mulai melihat bahwa BUMN perlu lebih berhati-hati atas profil risiko yang meningkat akibat kondisi kontrak yang belum pasti, eat more than you can chew, dan minimnya viability gap fund (VGF).
Saya kira moda raya ringan (LRT) metropolitan Jakarta, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Tol Trans-Sumatera, Bontang Refinery, dan berberapa proyek air bersih di Lampung dan Pekanbaru, serta peremajaan 5 Refinery, perlu pemikiran pemerintah agar terhindar dari risiko mandek.
Yang juga tak kalah memerlukan pemikiran adalah bagaimana konsesi kawasan ekonomi khusus (KEK) seperti Morotai, Palu, dan Bitung. Belum lagi pembangunan di perbatasan "teras Indonesia" yaitu Entikong, Aruk (Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat), Nanga Badau (Kabupaten Kapuas Hulu), Mota'ain (Kabupaten Belu), Wini (Kabupaten Timor Tengah Utara), Nusa Tenggara Timur, Motamasin, (Kabupaten Malaka), dan Skouw ( Kota Jayapura).
Pelabuhan Kuala Tanjung dan KEK Sei Mangkei perlu mendapat perhatian sehingga segera dapat diwujudkan dan memberikan kepastian pada investor.
Bagi investor swasta dan investor institutional global saat ini, yang berpotensi menarik di Indonesia adalah hanya masuk ke brown field dalam bentuk secondary asset sale. Termasuk membeli konsesi yang sudah jalan, dan mendapatkan keuntungan dari peningkatan nilai tambah ekuitas.
Ini pun, perlahan dan akan makan waktu tiga-sampai lima tahun ke depan. Transaksi brown field dan aksi korporasi di kalangan pemain infrastruktur ini sudah mulai marak 3 tahun terakhir.
Skema pembiayaan Pembiayaan Infrastruktur Non APBN (PINA) yang baru saja diluncurkan pemerintah, adalah untuk menggairahkan keikutsertaan dana institusi jangka panjang non-APBN seperti Dana Pensiun, Dana Haji, BPJS, Taspen guna masuk dalam investasi jangka panjang dengan garansi pemerintah.
Ini tetap harus didukung oleh persiapan proyek yang mumpuni, untuk meminimalkan risiko. Di sini, pasar akan merespons secara alamiah, sebagai bagian dari sistem keuangan global.
Untuk itu, ada empat hal yang krusial yang harus diperhatikan:
1. Pemerintah fokus pada penyiapan PDF yang cukup untuk proyek prioritas. Dengan perkiraan 0,5 persen sampai 1,5 persen dari total nilai proyekRp 851 triliun, perlu dana pemerintah minimal Rp 4 triliun untuk project development fund dalam membiayai studi kelayakan, atau final business case, proses tender, sampai financial close.
2. Optimasi dan fokus pada alokasi dana untuk VGF dan pembiayaan ekuitas. Di sini berbagai instrumen diperlukan, termasuk obligasi dan sukuk pembiayaan syariah harus dioptimalkan.
3. Pemerintah harus membuka diri dan siap meningkatkan proyek-proyek unsolicited. Proposal investor jangan dicurigai, namun harus dikaji secara komersial.
Artinya, pemerintah harus punya kemampuan berpikir dan berproses secara komersial untuk menyiapkan VGF serta dapat mengantisipasi dampak risiko komersial keikutsertaan swasta dalam pembangunan infrastruktur.
4. Peningkatan kapasitas penyelenggara kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) berkaitan dengan aspek komersial. Serta memberikan sebesar-besarnya para Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK) di daerah (kota/kabupaten) untuk menyelenggarakan KPBU.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.