Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Tol Dalam Kota Bandung Tak Lebih dari "Plan Follow Money"

Kompas.com - 06/02/2017, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHilda B Alexander

Ada kejanggalan ketika rekan-rekan perencana di Tanah Air masih diam seribu bahasa dalam menyikapi potensi terjadinya chaos manajemen kota, dengan akan dibangunnya Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR) atau Tol Dalam Kota Bandung.

Sama sunyinya ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta merilis rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta.

Sangat berbeda ketika Wali Kota Surabaya menolak rencana pemerintah pusat membangun jalan tol tengah kota. Seluruh insan perencana dan perancang kota di Surabaya, baik pro maupun kontra, menjalankan fungsi advokasi profesi dengan lugas, penuh energi, diselingi pertarungan mahzab yang mumpuni.

Saya tergelitik apa kira-kira latar belakangnya? Tak ingin bersyakwasangka, saya coba introspeksi internal, apakah karena perencananya miskin ide? Atau mungkinkah para perencana dialienasi oleh para politisi. Atau lebih parah, perencana ikut cawe-cawe dalam kekisruhan.

Lalu, timbullah pertanyaan itu. Sebenarnya infrastruktur itu untuk siapa?

Biarlah kita mulai dari bias saya terhadap permasalahan kota Bandung. Tengok BIUTR yang trasenya memotong kota di bagian utara dari Gede Bage ke Pasteur.

Baca: 2018, Jalan Tol Dalam Kota Bandung Dibangun

Selain tarik ulur dan beberapa kali on-off di level kementerian, rencana pembangunan ini menjadi topik hangat penguasa provinsi dan kota, entah mengapa.

KOMPAS.com/Reni Susanti Banjir di Gedebage membuat jalur menuju Kabupaten Bandung macet total. Sebagian pengendara motor memilih untuk memutar arah dengan menaikkannya ke median jalan, Jumat (28/10/2016).
Sebagai perencana, pertanyaan saya pertama adalah, apa artinya infrastruktur ini untuk kota dan warga Bandung? Beberapa diskusi menyoroti, bahwa tidak usah pakai analisa terlalu rumit, kalau koefisien jalan dengan wilayah terbangun bertambah, pasti bermanfaat. Masalahnya, manfaat untuk siapa?

Menguraikan kongesti? Koefisien bertambahnya di mana, sebelah bagian kota mana, dan untuk apa. Kalau koefisien bertambah sepanjang koridor Cicaheum ke Pasteur, buat apa? Lha masalah utamanya ada di koridor Soekarno Hatta, Kopo, dan Andir kok.

Para politisi dengan cepat mengklaim BIUTR akan menurunkan kemacetan 50 persen. Di titik mana? Lalu apa manfaatnya bagi warga biasa Bandung maupun masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)?

Dalam kasus Bandung ini, saya sepenuhnya belum mengerti alasan para perencana yang duduk di Pemprov Jawa Barat yang tentunya berkontribusi dalam perencanaan dan hitungan teknisnya.

Kita bisa saja melebar ke sana ke mari sampai perizinan bangunan, pengendalian dan sebagainya. Mungkin untuk sederhananya, bisa kita kaji benchmark sederhana.

Kota Milan, Salzburg, Inssbruck, Lyon, Madrid, Venice dan banyak kota tua Eropa, walau bertambah terus penduduknya, dan masalahnya, tidak membuat pemerintah kotanya mencari solusi dengan membangun jalan tambahan.

Apalagi New York yang demikian besar, di tengah kotanya tidak ada jalan tol. Padahal di sana kecepatan kendaraan hanya 30 kilometer per jam. Orang kaya dan orang "tidak biasa" berkendaraan mobil pribadi, ya maksimum segitu kecepatannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com