Ada kejanggalan ketika rekan-rekan perencana di Tanah Air masih diam seribu bahasa dalam menyikapi potensi terjadinya chaos manajemen kota, dengan akan dibangunnya Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR) atau Tol Dalam Kota Bandung.
Sama sunyinya ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta merilis rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta.
Sangat berbeda ketika Wali Kota Surabaya menolak rencana pemerintah pusat membangun jalan tol tengah kota. Seluruh insan perencana dan perancang kota di Surabaya, baik pro maupun kontra, menjalankan fungsi advokasi profesi dengan lugas, penuh energi, diselingi pertarungan mahzab yang mumpuni.
Saya tergelitik apa kira-kira latar belakangnya? Tak ingin bersyakwasangka, saya coba introspeksi internal, apakah karena perencananya miskin ide? Atau mungkinkah para perencana dialienasi oleh para politisi. Atau lebih parah, perencana ikut cawe-cawe dalam kekisruhan.
Lalu, timbullah pertanyaan itu. Sebenarnya infrastruktur itu untuk siapa?
Biarlah kita mulai dari bias saya terhadap permasalahan kota Bandung. Tengok BIUTR yang trasenya memotong kota di bagian utara dari Gede Bage ke Pasteur.
Baca: 2018, Jalan Tol Dalam Kota Bandung Dibangun
Selain tarik ulur dan beberapa kali on-off di level kementerian, rencana pembangunan ini menjadi topik hangat penguasa provinsi dan kota, entah mengapa.
Menguraikan kongesti? Koefisien bertambahnya di mana, sebelah bagian kota mana, dan untuk apa. Kalau koefisien bertambah sepanjang koridor Cicaheum ke Pasteur, buat apa? Lha masalah utamanya ada di koridor Soekarno Hatta, Kopo, dan Andir kok.
Para politisi dengan cepat mengklaim BIUTR akan menurunkan kemacetan 50 persen. Di titik mana? Lalu apa manfaatnya bagi warga biasa Bandung maupun masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)?
Dalam kasus Bandung ini, saya sepenuhnya belum mengerti alasan para perencana yang duduk di Pemprov Jawa Barat yang tentunya berkontribusi dalam perencanaan dan hitungan teknisnya.
Kita bisa saja melebar ke sana ke mari sampai perizinan bangunan, pengendalian dan sebagainya. Mungkin untuk sederhananya, bisa kita kaji benchmark sederhana.
Kota Milan, Salzburg, Inssbruck, Lyon, Madrid, Venice dan banyak kota tua Eropa, walau bertambah terus penduduknya, dan masalahnya, tidak membuat pemerintah kotanya mencari solusi dengan membangun jalan tambahan.
Apalagi New York yang demikian besar, di tengah kotanya tidak ada jalan tol. Padahal di sana kecepatan kendaraan hanya 30 kilometer per jam. Orang kaya dan orang "tidak biasa" berkendaraan mobil pribadi, ya maksimum segitu kecepatannya.