Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Metland: Tanah Perusahaan Publik Tidak Dikenai Pajak Progresif

Kompas.com - 27/01/2017, 10:28 WIB
Ridwan Aji Pitoko

Penulis

JAKARTA, KompasProperti - PT Metropolitan Land Tbk (Metland) menyambut baik kebijakan penerapan pajak progresif terhadap tanah-tanah penguasaan yang tidak digunakan atau menganggur (idle).

Metland melihat bahwa kebijakan tersebut bisa mendorong orang-orang untuk tidak menjadi spekulan tanah.

Namun, di sisi lain Metland menganggap penarikan pajak progresif ini tidak berlaku untuk perusahaan publik.

"Ini menarik, detailnya kan belum ada tetapi menurut saya yang ideal adalah bahwa pajak progresif ini tidak dikenakan ke perusahaan yang sudah go public karena sudah dimiliki publik dan keuntungan yang didapat bisa juga dirasakan oleh publik," jelas Presiden Direktur Metland Thomas J Angfendy, kepada KompasProperti, di Jakarta, Kamis (26/1/2017).

Sebaliknya, Thomas menilai kebijakan tersebut mestinya diberikan ke perusahaan-perusahaan yang belum terbuka.

Menurut dia, perusahaan dengan status belum terbuka hanya membeli tanah kemudian menyimpan keuntungan untuk dirinya sendiri.

Jika tetap ingin menguasai tanah tanpa pajak progresif perusahaan-perusahaan tersebut mesti jadi perusahaan publik.

Selain itu, Thomas menilai bahwa individu yang menjadi spekulan tanah juga mesti dikenakan pajak progresif tersebut.

Jika tidak ingin dikenakan pajak progresif, individu spekulan tanah itu bisa memasukkan tanahnya ke dalam perusahaan publik agar kenaikan harganya tak hanya bisa dinikmati sendiri, melainkan juga bisa dirasakan masyarakat.

"Yang pasti, perusahaan yang sudah terbuka tidak bisa kena pajak progresif. Kalau masih kena saya rasa lebih baik jadi spekulan saja dan nggak usah dimasukkan ke publik lagi," imbuh Thomas.

Metland saat ini memiliki cadangan lahan seluas 700 hektar yang tersebar di Cibitung, Cileungsi, Cakung, Ujung Menteng, dan Puri.

Sebelumnya, gagasan tentang pajak progresif tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani karena tanah yang tidak digunakan untuk produksi sebagaimana mestinya, sangat luas.

Hal ini yang kemudian mendongkrak harganya menjadi tinggi.

Kendati demikian, sampai saat ini belum ada mekanisme tertentu untuk menjalankan kebijakan tersebut lantaran belum ada pembicaraan khusus terkait hal tersebut dengan kementerian-kementerian terkait.

"(Rencana) Ini sudah diinstruksikan Bapak Presiden. Menteri ATR/BPN Pak Sofyan Djalil, Menko Perekonomian sedang menggodok dan kami akan bekerja sama untuk bisa menuangkannya ke dalam kebijakan," sebut Sri Mulyani.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com