Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemudahan Perizinan Dianggap Hanya Untungkan Pengembang

Kompas.com - 08/01/2017, 20:10 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemenuhan kebutuhan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sejatinya merupakan kewajiban pemerintah. Untuk menyediakan pasokan, pemerintah menggandeng pengembang.

Ada insentif yang diberikan kepada pengembang yang bersedia membantu menyediakan rumah untuk MBR.

Satu di antaranya adalah dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi ke-XIII mengenai kemudahan perizinan membangun perumahan MBR, yang dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan MBR.

Namun konsekuensinya, pembangunan perumahan oleh pengembang justru berorientasi pada bisnis.

Pada akhirnya, menurut Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, sejumlah rumah subsidi yang seharusnya menjadi hak MBR, dinikmati oleh kelas di atasnya.

"Kemudahan perizinan ini, hanya mempermudah bisnis properti sebenarnya. Karena sasaran mereka (pengembang) itu kelompok kelas menengah, bukan MBR," ujar Jehansyah kepada Kompas.com, Jumat (6/1/2017).

Sudah begitu, kata Jehansyah, pemerintah tidak pernah mengevaluasi apakah program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) bagi MBR tepat sasaran.

Seharusnya, pemerintah memperhatikan rumah-rumah subsidi tersebut memang dibeli oleh MBR.

Kemudian, pemerintah juga perlu melihat apakah rumah tersebut direnovasi menjadi "wah" atau dijual kembali dengan harga lebih mahal.

Selama ini, imbuh dia, pemerintah menganggap rumah FLPP yang sudah tersalur melalui Bank BTN, tercatat telah dibeli MBR.

Sementara Bank BTN sendiri juga tidak pernah mengecek kembali, karena bagi mereka yang penting cicilan kreditnya lancar.

"Sama seperti rumah susun milik (rusunami). Karena diselenggarakan oleh pengembang juga melalui mekanisme bisnis properti, rusunami banyak yang salah sasaran. Enggak penting amatlah (tepat sasaran), yang penting cicilan lancar," tutur Jehansyah.

Ia mencontohkan apartemen Kalibata City yang awalnya dibangun untuk veteran dan dijual seharga Rp 144 juta.

Harga apartemen tersebut bisa murah karena dipotong Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Namun, dalam perkembangannya kemudian hingga saat ini sudah tidak ada lagi unit apartemen di Kalibata City yang dijual seharga tersebut. Sekarang, harganya bisa mencapai Rp 600 juta per unit.

"Jadi pengembang ini sudah mengemplang pajak, penerimaan negara dari pajak nggak masuk, juga main spekulasi properti. Aset mereka nilainya jadi tinggi. Sementara pemerintah gigit jari, programnya gagal, karena tidak capai sasaran," sebut Jehansyah.

Tidak hanya di Jabodetabek

Program perumahan subsidi yang salah sasaran ini tidak hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, juga terjadi di kota-kota lain di Indonesia.

Rumah-rumah subsidi ini justru dimiliki, dan dinikmati kelas menengah.

"Istilah 'daerah' itu pasti ada kota besarnya, seperti Surabaya dan sekitarnya, Bandung dan sekitarnya, Semarang dan sekitarnya, Makassar, Balikpapan, Pekanbaru, Padang, dan lain-lain," kata Jehansyah.

Ia mencontohkan, di Muara Bungo, Sumatera Selatan, dan Tanjung Selor di Kalimantan Utara, tidak ada lagi rumah FLPP yang bisa diakses oleh MBR.

Hal itu bisa terjadi karena para pembeli rumah-rumah FLPP tersebut adalah masyarakat menengah yang kerja di perkotaan. 

"Kemudahan perizinan itu menggeser kelompok sasaran, yang malah dinikmati MBM. Kemudahan perizinan hanya memperlancar bisnis properti," jelas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com