JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan kembali rumah adat menjadi tujuan utama program Rumah Asuh yang diinisiasi Yori Antar. Sebagai arsitek dari HanAwal&Partners, dia mendapatkan dana dari para donatur.
Yori mengaku, program tersebut lebih berguna untuk masyarakat ketimbang bantuan pemerintah pusat dan daerah (pemda) yang justru sering "salah sambung".
"Di Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur, pemda setempat merasa ketinggalan dengan pembangunan rumah yang ada, akhirnya mereka bangun toilet," ujar Yori dalam sebuah diskusi di Jakarta, pekan lalu.
Ia menjelaskan, "salah sambung" di sini berarti ketidaksesuaian antara yang dibutuhkan masyarakat dengan bantuan yang diberikan pemerintah.
Toilet yang dibangun pemda di Wae Rebo juga tidak dibuat sedemikian rupa dan tidak sesuai dengan bangunan rumah adat, sehingga terkesan memaksakan.
Selain di NTT, Yori juga menemukan bantuan pemerintah yang "salah sambung" di Lombok.
"Begitu masuk rumah adat, saya lihat tiap rumah kok aneh ada kulkasnya," tutur Yori.
Lambat laun, ia mengetahui bahwa kulkas tersebut adalah bantuan yang diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Yori menduga, pemerintah sudah kebingungan menghitung proyek pembangunan sehingga mencari jalan pintas untuk membelanjakan uang dalam bentuk kulkas.
"Kulkasnya nggak bisa nyala karena nggak ada listrik. Pas dibuka, malah jadi lemari pakaian. Itu salah sambung," jelas Yori.
Ia mengatakan, hal tersebut terjadi karena pola pikir pemerintah masih berbasis proyek dan top-down.
Seharusnya pemerintah berpikir apa yang paling dibutuhkan masyarakat bukan apa yang bisa diberikan oleh pemerintah, atau down-top.
Program Rumah Asuh bertujuan untuk menemukan dan membangun kembali rumah-rumah adat di pedalaman Indonesia.
Program tersebut melibatkan mahasiswa arsitektur sebagai agen di lapangan dan donatur gotong royong sebagai penyandang dana.
Tidak hanya itu, masyarakat asli juga ikut dilibatkan dalam pembangunan kembali rumah adat.
Dalam perjalanannya, program tersebut sudah berhasil merekonstruksi sejumlah rumah adat di berbagai daerah seperti NTT, Papua, Sulawesi dan Sumatera Barat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.