Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Harus Segara Membuat Juklak "Holding" Perumahan

Kompas.com - 08/12/2016, 16:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar perumahan dan permukiman dari ITB, Mohammad Jehansyah Siregar, mengatakan pemerintah melalui kementerian teknis (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) perlu membuat petunjuk dan pelaksaan (juklak) holding perumahan. Peraturannya harus segera diterbitkan. 

"Agar holding ini dapat segera melaksanakan tugasnya membangun rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah," kata Jehansyah di Jakarta, Kamis (8/12/2016).

Hanya, lanjut dia, jika sasaran holding perumahan ingin tercapai untuk membangun rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR), harus lepas dari aksi-aksi korporasi.

"Kalau bicara aksi korporasi, maka larinya kepada capaian sinergi dan efisiensi," kata Jehansyah.

Jehansyah mengatakan di dalam holding negara harus lebih tampil dalam rangka membangun rumah bagi rakyat. Hal itu mutlak dibutuhkan demi tercapainya program satu juta rumah dan mengatasi kekurangan kebutuhan rumah (backlog).

Terkait itu, sebenarnya PP Nomor 83 Tahun 2015 telah mengatur secara jelas tugas, pokok, dan fungsi Perum Perumnas dalam penyediaan rumah bagi MBR, bahkan lebih jelas dibandingkan peraturan sebelumnya. Namun, menurut Jehansyah, hal itu belum cukup apabila pemerintah ingin memasukan juga holding BUMN perumahan agar terlibat dalam program sejuta rumah.

"Melalui PP ini seharusnya Perumnas bisa terlibat sebagai leader di dalam holding itu, dan fungsinya juga bisa lebih ditingkatkan lagi sebagai National Housing Development seperti dipakai di sejumlah negara," kata Jehansyah.

Untuk itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) seharusnya lebih tampil ke muka untuk memperkuat kehadiran holding perumahan. Tujuannya untuk mengamankan penyediaan rumah bagi MBR agar target satu juta tercapai minimal 70 persen,.

"Sangat tidak mungkin target satu juta rumah bagi MBR itu diserahkan kepada pengembang swasta sepenuhnya karena sebagai perusahaan tentu tujuannya komersial," kata Jehansyah.

Sementara itu, ahli di bidang pembiayaan perumahan Erica Soeroto mengatakan bahwa perlunya dilakukan pemetaan terhadap kemampuan masyarakat dalam membeli rumah. Ia menyarankan, jangan sampai holding sudah membangun rumah, tetapi daya beli masyarakat tidak ada.

"KPR jangan diserahkan kepada perbankan, karena mereka menggunakan dana jangka pendek seperti tabungan, giro, dan deposito, sementara KPR rata-rata memiliki jangka panjang," kata Erica.

Bagi Erica, holding perumahan itu perlu didampingi perusahaan pembiayaan khusus perumahan yang mampu menyalurkan dana jangka panjang dengan tingkat bunga rendah. Caranya dengan memanfaatkan dana-dana dari pasar modal seperti obligasi. Di luar negeri cara ini dikenal dengan lembaga keuangan khusus nonbank yang ditujukan untuk membiayai usaha mikro juga rumah bagi MBR.

"Sebelumnya kita pernah punya lembaga semacam itu melalui bank papan sejahtera, tapi sekarang sudah ditutup. Ke depannya lembaga semacam itu dapat dihidupkan kembali," ujar Erica.

Lembaga tersebut nantinya dapat sejajar dengan holding sehingga kehadirannya akan aman meskipun harus memproduksi sebanyak satu juta rumah setiap tahunnya.

Menurut Erica, saat ini pemerintah memang memiliki dana subsidi melalui FLPP. Namun, perbankan di Indonesia yang tidak efisien akan membuat masyarakat tetap tidak mampu untuk membeli rumah.

"Karena bunga KPR-nya masih tidak terjangkau," jelas Erica.

Erica berpendapat untuk membuat seseorang mampu mengasur rumah bukan semata dilihat dari harga rumah maupun besaran bunga dan angsurannya, tetapi daya beli juga harus diperhatikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber ANTARA
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com