SURABAYA, KOMPAS.com - Terminologi smart city atau kota cerdas masih menjadi polemik hingga kini.
Kota cerdas tidak bisa hanya diartikan sebagai kota yang berbasis teknologi, atau segala sesuatunya dikelola dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
COO dan Vice President Director PT Intiland Development Tbk Sinarto Dharmawan menjelaskan, kota yang cerdas adalah kota yang sangat efektif, efisien, dan produktif.
"Semakin efisien, efektif, dan produktif sebuah kota maka akan semakin cerdas," ujar Sinarto kepada Kompas.com, Rabu (7/1/2/2016).
Sebuah kota bisa dikatakan menyandang predikat cerdas bila memenuhi tiga unsur utama yakni density, diversity, dan proximity.
Density atau densitas menyangkut memaksimalkan ruang yang ada. Pengembangan perkotaan harus berbasis pada penggunaan ruang yang maksimal, namun memanfaatkan lahan secara minimal.
"Dalam hal ini, pembangunan harus ke atas atau vertikal. Baik hunian, perkantoran, maupun ruang komersial," imbuh Sinarto.
Jakarta, tambah dia, densitasnya rendah. Karena hanya diisi oleh 15.000-an jiwa per kilometer persegi. Sementara ruang Jakarta masih begitu luas.
Sedangkan diversitas terkait dengan keberagaman. Dalam hal ini, pengembangan perkotaan harus mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat yang beraneka, mulai dari sosial, ekonomi, budaya, suku, agama, profesi, golongan, dan lainsebagainya.
Faktor berikutnya adalah proksimitas atau kedekatan. Ini tak kalah penting karena berpotensi mengurai kepadatan lalu lintas, dan juga menjadi salah satu solusi menghindari kemacetan.
Tiga hal tersebut, kata Sinarto, bisa diwujudkan dalam pengembangan properti berkonsep multifungsi atau mixed use.
"Mixed use adalah masa depan properti, dan masa depan perkotaan padat, macet, dan semrawut seperti Jakarta, dan Bandung," tutur Sinarto.
Pengembangan terintegrasi memungkinkan penghuni beraktivitas, dalam sebuah kawasan secara efektif, dan efisien. Mereka tidak perlu menggunakan kendaraan hanya untuk makan, minum, atau belanja kebutuhan sehari-hari.
Tinggal jalan kaki menuju tempat yang dimaksud, bensin tidak terbakar, ongkos transportasi tak jadi dikeluarkan, atau tenaga tak banyak berkurang.
Pengembangan multifungsi menyaratkan integrasi antar-jenis dan fungsi properti. Dia juga harus terkoneksi dengan transportasi publik, dan juga akses-akses terhadap fasilitas umum, dan sosial lainnya.
Pendek kata, jika di pusat kota perkantoran belum membaik, maka di daerah suburban seperti Surabaya Barat, justru sebaliknya.
Perkantoran yang dibangun terintegrasi dengan fungsi properti lainnya, punya kemungkinan tersewa, atau dihuni lebih besar ketimbang yang berdiri sendiri.
Demikian halnya dengan perhotelan yang menyatu dengan apartemen, pusat belanja, dan jenis properti lainnya. Hotel akan mendapat "ikan" dari para penghuni, tamu, atau pun pengunjung yang datang secara perorangan maupun kelompok.
"Bangunlah properti multifungsi, karena selain memudahkan, juga mampu menumbuhkan kawasan-kawasan ekonomi baru," kata Sinarto.
Ada pun kota cerdas menurut pengamatan dia adalah Surabaya masih nomor satu, menyusul kota-kota di daerah yang belum terkendala kemacetan.
"Surabaya jauh lebih baik dari Jakarta, dan Bandung. Kotanya membuat penduduk nyaman, bahagia, dan kualitas hidup meningkat. Meski pun dari segi teknologi, Surabaya agak tertinggal," tuntas Sinarto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.