Menurut pasal tersebut, dalam perkawinan campuran seorang WNI menikah dengan seorang WNA, baik perkawinan itu dilakukan di Indonesia muapun di luar Indonesia. Dari segi kepemilikan tanah, khususnya bagi WNI, perkawinan campuran dapat mengakibatkan seorang WNI kehilangan tanah hak miliknya.
Sesuai UUPA, seorang WNI yang memiliki tanah dengan hak milik dan menikah dengan WNA, harus melepaskan tanah tersebut. Pelepasan itu dapat dilakukan dengan cara, misalnya, menjual atau menghibahkannya.
Pelepasan itu harus dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sejak WNI memperoleh tanahnya, atau sejak WNI melakukan perkawinan campuran. Jika waktu tersebut lewat dan hak kepemilikan tanah itu tidak dilepaskan, maka hak atas tanah tadi akan hapus secara hukum dan tanahnya jatuh ke tangan negara.
Perlunya dilakukan pelepasan hak atas tanah itu terjadi karena dalam perkawinan antara WNI dan WNA terjadi percampuran harta. Tanah hak milik yang dipunyai WNI bercampur dengan harta kekayaan WNA di dalam harta bersama perkawinan.
Dalam harta bersama, harta yang diperoleh suami dan istri selama perkawinan tidak dikuasai oleh masing-masing suami dan istri, melainkan berada di dalam kepemilikan bersama. Dengan demikian, dalam harta bersama itu tanah hak milik yang dipunyai WNI akan menjadi bagian dari harta bersama yang juga dimiliki oleh WNA sehingga hal tersebut telah melampaui batas-batas prinsip nasionalitas dan karenanya wajib dilepaskan.
Perjanjian perkawinan
Berdasarkan Pasal 3 PP 103/2015, WNI yang melaksanakan perkawinan campuran dengan WNA masih dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan WNI lainnya yang tidak melakukan perkawinan campuran dengan WNA.
WNI tersebut masih dapat memiliki hak milik atas tanah. Bahkan, namanya masih dapat tercantum dalam sertifikat hak milik (SHM) sebagai bukti kepemilikan.
Syarat untuk tetap bisa memiliki hak atas tanah bagi WNI yang melakukan perkawinan campuran adalah hak atas tanah yang dimiliki WNI tersebut haruslah bukan harta bersama.
WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan WNA harus memisahkan hak atas tanah miliknya itu sehingga tidak masuk ke dalam harta bersama. Untuk mengeluarkannya dari harta bersama, harus dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.
Lembaga pemisahan harta bersama dalam perkawinan umumnya dikenal dengan perjanjian perkawinan atau perjanjian pra-nikah (prenuptial agreement). Perjanjian perkawinan adalah perjanjian di antara calon suami-istri mengenai harta perkawinan mereka kelak setelah menikah.
Isi perjanjian itu terbatas hanya mengatur harta kekayaan dalam perkawinan dan tidak mengatur hal-hal lain di luar itu, misalnya tentang kekuasaan orang tua terhadap anak.
Dalam perjanjian perkawinan dapat ditentukan, suami dan istri dapat menguasai hartanya masing-masing dan memisahkannya dari harta bersama. Dengan pemisahan dari harta bersama itu, maka WNA pasangannya tidak turut memiliki tanahnya.
Yang paling penting, perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat di hadapan notaris dan dicatat di lembaga pencatat perkawinan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.