JAKARTA, KOMPAS.com - Masih banyak persoalan menghambat pembangunan perumahan bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selain belum ada standarisasi dari pemerintah, pengembang di daerah masih menemui masalah klasik, seperti perizinan, listrik, dan pembiayaan (permodalan) dari perbankan.
"Standarnya masih beda-beda, contohnya di Banten dan Kepri. Rumah skema FLPP di Banten itu rumahnya sudah jadi, fully furnished. Pembeli masuk rumah tinggal datang dan bawa furnitur. Kalau di Kepri, meski rumahnya besar, tapi kondisinya tidak siap huni, tapi siap renovasi, karena pembeli masih akan renovasi ini dan itu," ujar Ketua DPD REI Banten, Soelaeman Soemawinata, pada buka puasa bersama media, Jumat (24/6/2016) pekan lalu.
Lelaki yang akrab disapa Eman ini mengatakan perlu dipikirkan soal standarisasi tersebut. Bukan standar pada patokan harga, melainkan juga desain dan peraturannya.
"Ada perda yang maksimal itu ukurannya 60 meter persegi, ada yang 120 persegi. Pengertian siap huni itu juga perlu dipikirkan. Siap huni itu benar-benar datang dan menghuni, tak perlu ada renovasi lagi, sebab itu akan jadi beban MBR," kata Eman.
Dia menambahkan, program pembangunan sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah butuh kerjasama dan koordinasi kuat antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, pihak perbankan juga harus meningkatkan kordinasinya dengan pemerintah pusat dan daerah guna memastikan bahwa rumah subsidi diterserap dengan baik oleh masyarakat yang membutuhkan.
"Masih banyak pejabat pemerintah baik di pusat maupun daerah tidak paham dengan program sejuta rumah. Pengembang di daerah masih menemui masalah klasik, seperti perizinan, listrik, dan pembiayaan dari perbankan. Ini semua butuh koordinasi," ujar Eman.
Sementara itu, Ketua DPD REI Jawa Timur, Paulus Totok Lusida, mengatakan program sejuta rumah bisa terealisasi dengan baik dengan dukungan dan kerjasama kuat pemerintah pusat dan daerah, khususnya terkait perizinan dan pajak. Untuk perizinan salah satu contoh menarik adalah pemerintah daerah Surabaya.
"Sekarang sedang dilakukan uji coba pada 12 proyek pengembang di Surabaya, mulai dari dua tahun hingga sedang diupayakan tiga bulan saja," ujar Totok.
Totok mengatakan Surabaya yang memiliki rencana detail tata ruang (RDTR) sehingga tidak diperlukan lagi izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Dengan izin singkat itu pengembang bisa dengan leluasa membangun terutama rumah bagi masyarakat menengah ke bawah.
Sementara soal pajak, Totok sepakat dengan Eman bahwa tak semua pengembang di daerah punya pengetahuan yang sama soal pajak.
"Pajak masih membebani, karena kemampuan pengembang daerah itu kan rata-rata kapitalisasinya kecil sehingga mereka berkembang secara sporadis. Dari 5 hektar, naik lagi 10 hektar. Tak bisa langsung 500 hektar seperti pengembang besar," ujar Totok.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.