JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undan-undang (RUU) Pertanahan dipertanyakan substansinya. Hal ini karena masalah pertanahan sendiri sudah diatur pada Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria.
"Sebagai UU, kita tidak hanya bisa menginginkan penyelesaian dari masalah yang sekarang ada, tapi harus bisa juga memprediksi perkembangan masyarakat," ujar pakar hukum agraria Achmad Sodiki, saat diskusi publik bertema "Kiblat RUU Pertanahan, Kembali ke Pancasila dan UUPA 1960" di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Menurut Sodiki, RUU ini juga harus bisa mengantisipasi apa yang akan timbul di masyarakat. Hal ini bertujuan agar ketika sudah diundangkan dan masyarakat berubah, UU bisa mengikuti.
Berdasaran ilmu perancangan UU, kata Sodiki, dalam kurun waktu minimal 20-25 tahun, UU ini harus bisa berfungsi.
Jika tidak bisa mengikuti perkembangan masyarakat yang terus berubah, maka UU akan dikatakan tidak lagi cocok.
Sodiki mencontohkan, pada tahun 1960 tujuan UUPA adalah menumbangkan puncak modal asing yang memeras bangsa dan mengakhiri tindakan aparat-aparat yang mengadu domba masyarakat dengan pemerintah.
"Setelah lebih dari 50 tahun, kita bisa bertanya apakah sengketa tanah sudah berakhir antara pemerintah dengan rakyatnya sendiri. Saya rasa belum. Berarti UUPA tahun 1960 masih," jelas Sodiki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.