JAKARTA, KOMPAS.com - Orang Indonesia tercatat sebagai pembelanja (shoppers) terbesar ke-5 di dunia.
Menurut data Global Blue edisi Februari 2016, pembelanja Indonesia hanya kalah dari China, Timur Tengah, Rusia, dan Amerika Serikat.
Selama tiga tahun berturut-turut, Indonesia selalu menempati urutan lima teratas di dunia.
Pada 2014, shoppers kita berada di urutan keempat atau turun satu peringkat dari posisi ketiga pada tahun 2013. Peringkat serupa juga ditunjukkan pada 2015.
Data ini menunjukkan kemampuan berbelanja orang Indonesia semakin menguat sejak November 2015, meskipun pertumbuhan ekonominya mengalami perlambatan.
Pada bulan Februari, transaksi naik yang dibukukan melonjak 20 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding catatan pada Januari 2016 yang tumbuh 18 persen.
Sementara pada Desember 2015, pertumbuhan 20 persen juga diperlihatkan shoppers Indonesia yang menjadikan Singapura sebagai surga belanja mereka.
Menurut Wakil Presiden Penjualan Global Blue Asia Pasifik, Jan Moller, pembelanja Indonesia menjadikan Singapura sebagai surga belanja.
Populasi mereka terbesar kedua setelah China, dan secara historis dianggap penting oleh para peritel yang beroperasi di negeri Singa tersebut.
"Karena shoppers Indonesia mewakili hampir seperlima dari jumlah transaksi global tax free shopping (TFX)," ujar Jan.
Indonesia juga dianggap menjadi pendorong utama kinerja TFS Singapura dalam dua bulan pertama tahun ini dengan rata-rata pertumbuhan 4 persen secara bulanan dan 3 persen secara tahunan (2015), meskipun terjadi sedikit penurunan pengeluaran dengan angka rerata 3 persen.
Penurunan pengeluaran ini terjadi karena Rupiah melemah yang memengaruhi pengurangan permintaan untuk perjalanan wisata dan belanja pada 2015.
Nah saat kinerja Rupiah pulih, belanja Indonesia pun melonjak dalam dua bulan pertama tahun 2016.
"Januari dan Februari adalah pertama kalinya kami telah melihat peningkatan belanja oleh orang Indonesia terhadap tahun sebelumnya. Ini jelas berita baik bagi Singapura," tambah Jan.
Meski mengalami lonjakan, untuk segi pengeluaran masih dinilai lebih rendah dibandingkan pembelanja asing lain, karena preferensi mereka lebih banyak untuk kategori fashion.
Data lonjakan jumlah pembelanja ini menjadi basis optimisme sektor ritel Tanah Air. Menurut Direktur Ritel Savills Indonesia, Rosaline Lie, meski tingkat permintaan masih relatif terbatas, namun secara keseluruhan pasar ritel Indonesia masih terbilang stabil.
Daya beli yang masih cukup tinggi dan tren gaya hidup semakin mendorong tingkat pengeluaran dan konsumsi yang cukup signifikan walaupun dalam kondisi ekonomi seperti sekarang ini.
"Pasar ritel bahkan berpeluang menjadi sektor properti yang pertama bangkit dari kondisi perlambatan yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini," ujar Rosaline kepada Kompas.com, Rabu (11/5/2016).
Selain jumlah pembelanja, kata Rosaline, faktor lain yang bisa menjadi pendorong peningkatan pasar ritel, adalah kondisi pertumbuhan pasok yang relatif minim akibat moratorium pembangunan pusat perbelanjaan baru di wilayah DKI Jakarta.
Hal itu menyebabkan kompetisi yang ada tidak seketat dibanding sektor lainnya. Sebaliknya, justru bisa memicu kenaikan tingkat permintaan ritel saat terjadinya perbaikan ekonomi yang signifikan dalam waktu dekat.
"Kondisi ini mirip yang dialami selepas periode krisis akhir tahun 1990-an," tuntas Rosaline.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.