Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hilda Alexander
wartawan

Jurnalis, peminat pembangunan properti, pencakar langit, dan perkotaan.

Bagi Buruh, Rumah Layak Huni Masih Mimpi...

Kompas.com - 01/05/2016, 16:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Bagi buruh rendahan, apapun profesinya; karyawan pabrik, pembersih toilet di mal-mal mentereng, petugas medis, atau bahkan jurnalis, bisa membeli dan memiliki rumah layak huni mungkin masih mimpi...

Bagaimana tidak? Kenaikan upah atau penghasilan dibanding lonjakan harga rumah ibarat menyandingkan deret hitung dengan deret ukur. 

Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta saja yang kenaikannya tertinggi di seluruh Indonesia yakni 14,81 persen menjadi Rp 3,1 juta per bulan, masih kalah dibanding peningkatan harga rumah sebesar 15 persen.

Bahkan, ketika perekonomian berjalan lambat bagai siput seperti sekarang, masih ada pengembang yang berani meningkatkan harga jual rumah sebesar lebih dari 25 persen!

Pengembang ini, PT Ciputra Residences yang membangun Citra Maja Raya beralasan, harga jual dinaikkan lebih dari 25 persen karena permintaan terus menguat seiring progres pembangunan fisik rumah, dan fasilitas yang melengkapinya.

Selain itu, "Harga material bangunan, dan juga harga tanah ikut meningkat seiring perkembangan kawasan Maja," ungkap GM Marketing PT Ciputra Residence Yance Onggo kepada Kompas.com, Minggu (1/5/2016). 

Saat ini rumah dengan harga termurah di Citra Maja Raya sudah menyentuh angka Rp 143 juta sudah termasuk PPN dan BPHTB. Padahal, saat awal peluncuran, harganya masih sekitar Rp 100 juta-Rp 114 jutaan.

Kita tentu masih ingat iklan "Hari Senin Harga Naik" dari perumahan mewah garapan Agung Sedayu Group (ASG) yang menampilkan paras cantik Fenny Rose. 

Iklan tersebut secara intensif dan masif membombardir ruang publik pemirsa setiap pagi, siang, dan malam hari sejak 2012 saat properti sedang booming.

Fenny dengan gestur dan mimik mendelik-delik provokatif membujuk-bujuk pemirsa untuk segera membeli rumah sebelum harga naik pada hari Senin.  

Nah, hari Senin besok, adalah saat-saat kritis di mana harga properti "dikondisikan" naik, sebagaimana materi promosi ASG.

ASG tak sendiri, nyaris, seluruh pengembang mengamini promosi tersebut dan menjadikan hari Senin sebagai titik tolak pertumbuhan harga properti yang mereka kembangkan.

Menjadi hal menarik untuk ditelisik, haruskah setiap Senin harga properti naik?

Serupa halnya dengan "stock market" atau bursa saham, fenomena yang terjadi adalah setiap hari Jumat, pada umumnya harga saham terkoreksi. Demikian pula dengan harga saham properti.

Jadi, dengan menaikkan harga tiap Senin, pengembang berharap dapat memulihkan harga yang terkoreksi pada hari Jumat dan mampu membukukan transaksi di akhir pekan.

Selain itu, kenaikan harga setiap awal pekan tersebut juga merupakan salah satu siasat dan strategi yang sangat umum dilakukan dan sudah lama berlangsung.

Tak hanya di Indonesia, juga di belahan dunia lainnya. Lebih dari itu, strategi dan besaran harga ini selalu paralel dengan hukum penawaran dan permintaan. Namun, yang jadi pertanyaan berikutnya adalah seberapa tinggi kenaikan harganya?

Menurut CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, selama satu dekade atau kurun 2000-2010, rata-rata kenaikan harga properti adalah 10 persen.

Persentase sebesar ini terjadi di lokasi premium seperti central business district (CBD) Sudirman, CBD Thamrin, ataupun CBD Kuningan.

Jumlah itu terus meningkat hingga 20-30 persen selama tiga tahun terakhir. Sementara di kawasan non-CBD, pertumbuhan harga properti mencapai separuhnya yakni 15 persen sampai 20 persen.

"Harus diperhatikan juga, berapa lama kenaikan ini akan berlangsung. Harga yang terlalu tinggi juga berbahaya, jika ternyata yang membeli properti adalah investor bukan pemakai akhir. Kalau sampai komposisi investor mendominasi pembelian properti, akan berpotensi terjadinya 'crash'," papar Hendra.

Pertumbuhan harga juga dipengaruhi oleh intensitas pengembangan yang dilakukan developer. Mereka akan terus membangun selama ketersediaan lahan masih ada.

Plus dukungan daya beli. Selama daya beli ada, transaksi akan terus terjadi. Jadi, bukan semata karena keterbatasan pasokan.

Jika pasar tidak mengalami penetrasi signifikan alias profil pembeli adalah repeat buyer maka kondisi pasar bisa kacau. Itu sama artinya pasar diramaikan oleh investor, bukan pembeli riil.

Buat pengembang, hal tersebut memang tidak menjadi masalah, karena konsentrasi mereka bukan di situ. Bagi mereka yang penting properti laku dan habis terjual. Prinsipnya adalah selama masih bisa menaikkan harga alias "digoreng", kenapa tidak?

Kembali kepada nasib buruh tadi, apakah dengan UMP Rp 3,1 juta per bulan untuk DKI Jakarta dan nilai lebih rendah di provinsi-provinsi lainnya bisa membeli dan memiliki rumah? 

"Berat kalau tidak dilakukan dengan siasat joint income (penghasilan gabungan) suami-istri. Jangankan rumah komersial, untuk rumah subsidi pun penghasilan minimal harus Rp 5 juta per bulan," ucap Head of Operations Peradaban Land Azhary Husni.

Perhitungannya begini, untuk rumah subsidi yang dibangun Peradaban Land seharga Rp 106 juta, dengan asumsi cicilan Rp 800.000-Rp 1 juta per bulan selama tenor 15 tahun, maka penghasilan calon konsumen harus minimal Rp 4 juta hingga Rp 5 juta per bulan.

"Cicilan rumah itu kan harus sepertiga dari total penghasilan. Belum lagi bicara realita yakni biaya hidup rutin saat ini seperti makan, ongkos transportasi, dan lain-lainnya yang minimal lebih dari Rp 1 juta per bulan," tambah Azhary.

Demikian halnya dengan rumah termurah di Citra Maja Raya yang hanya bisa diakses oleh mereka berpenghasilan minimal Rp 5 juta. Angsuran per bulannya saja Rp 1,5 juta, belum lagi pengeluaran rutin. 

Jadi, jangan heran kalau bank pengucur kredit pemilikan rumah (KPR) hanya akan menyetujui permohonan aplikasi dari konsumen yang dinilai aman secara finansial untuk mencicil.

Penghasilan Rp 4 juta sampai Rp 5 juta per bulan, dengan catatan tidak ada cicilan lainnya, masih mungkin beli rumah subsidi meskipun sangat berat.

Bagaimana dengan rumah non-subsidi alias komersial? 

Yance memberikan ilustrasi riil. Bahwa yang bisa mengakses rumah di CitraRaya Tangerang, misalnya, untuk harga termurah Rp 497 juta di Villagio adalah konsumen yang berpendapatan Rp 15 juta per bulan. 

"Memang tinggi ya, itu karena cicilan per bulannya Rp 5 juta per bulan selama Rp 15 tahun," kata Yance. 

Meskipun Peradaban Land menjual rumah komersial termurah masih di bawah harga CitraRaya yakni hanya Rp 210 juta, namun cicilan per bulannya bisa sebesar Rp 2 juta.

Harga Rp 210 juta itu pun sudah dipangkas biaya BPHTB dan administrasi yang ditanggung pengembang.

Hanya konsumen yang berpenghasilan Rp 6 juta hingga Rp 7 juta dengan asumsi tak memiliki cicilan lain dan bersedia hidup irit yang bisa membeli rumah Rp 210 juta.

Dari ilustrasi tersebut, makin sulit saja para buruh rendahan untuk membeli dan memiliki rumah layak huni. Apalagi rumah layak huni dengan fasilitas idaman macam taman, lapangan futsal, lapangan basket, sentra komunitas, dan lain sebagainya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com